Tuesday, July 18, 2017

SENI dan BUDAYA JAWA

SENI dan BUDAYA
JAWA
Sebagai Saka Guru Pembentukan Karakter Bangsa

Oleh :
O. EKO SAPUTRO, S.Sn

Penerbit                                                                                                     
Sanggar Seni

Kridha Manggaa Laras (KML)                                         



KATA PENGANTAR

                        Rasa Prihatin ketika melihat dan merasakan fenomena masyarakat dewasa ini. Seperti “kain bathik yang kehilangan akan coraknya”. Ketika ini benar terjadi, akanlah sangat sulit untuk mengetahui apalagi menentukan “kain bathik itu bermotif apa ?” jika situasi demikian kian larut dalam perjalanannya, lalu bagaimana tentang keberadaan “kain bathik tersebut?”. Padahal kita telah tahu bahwa “kita” memang pada hakikatnya sebagai “kain bathik” tersebut.
                        Perumpamaan tadi, terjadi pada masyarakat Jawa pada umumnya tidak hanya pada generasi muda, namun juga sampai kepada generasi tua. Seni dan Budaya Jawa merupakan sesuatu yang fundamental sebagai kepribadian diri yang nantinya menjadi suatu corak dalam kehidupan seseorang maupun dalam bermasyarakat bahkan pada kehidupan berbangsa dan bernegara.
                        Ada ungkapan Jawa yang demikian, “ajining dhiri saka lathi, ajining raga saka busana”, yang artinya adalah, “kehormatan dhiri karena ucapan, dan kehormatan raga atau tubuh karena pakaian”. Ini sudah jelas kenyataannya, bahwa ketika seseorang tidak mempunyai lagi ucapan yang baik dan bijak, serta berpenampilan yang tidak pantas, pastilah ia akan kehilangan harga dirinya.
                        Budaya adalah ucapan kita, dan seni adalah pakaian kita. Dengan ditulisnya buku “Seni dan Budaya Jawa” yang sangat sederhana ini, saya mempunyai harapan sederhana pula, agar generasi muda sekarang mendapatkan sedikit pengetahuan tentang seni dan budaya Jawa, yang mudah – mudahan dapat menggugah hati, pikiran, dan jiwa, untuk mau bersyukur atas anugrah Tuhan yang besar dan mulia ini yaitu telah diberikannya dalam wujud seni dan budaya.
                        Saya juga bersyukur kepada Tuhan, atas diberikannya kesempatan yang begitu berharga, dengan dapat menulis buku ini meskipun dirasa masih banyak kerukangan disana – sini dalam penulisannya. Dengan adanya buku ini, saya berharap kepada generasi muda yang telah mencintai seni dan budaya, dapat untuk lebih mengembangkannya. Sejak dulu hingga sekarang, tidak pernah berhenti orang luar negri mengagumi bahkan mereka mencintai dan menjadi pelaku seni didalam masyarakat Jawa. Jika kita sendiri sebagai yang mempunyai seni dan budaya Jawa ini tidak “ngopeni”, alangkah sangat tidak bijaksananya.
                        Akhir kata, marilah kita bersama – sama menjaga dan melestarikan Seni dan Budaya Jawa yang adi luhung ini. Tuhan memberkati.

                                                                                                    
                                                                                                                      Batu, 18 Juli 2017

                                                                                                         O. EKO SAPUTRO, S.Sn







DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Bab I               KEBUDAYAAN .............................................................................................  3
Bab II              MANUSIA JAWA ......................................................................................... 7             
Bab III             KITAB PUJANGGA ......................................................................................  10
Bab IV             WAYANG SEBAGAI DASAR FILOSOFI MASYARAKAT ..................................            14          
Bab V              RAMAYANA ...............................................................................................          20
Bab VI             MAHABARATA ...........................................................................................  27
Bab VII            BENTUK WAYANG ......................................................................................  40
Bab VIII           PERTUNJUKAN WAYANG KULIT .................................................................                52














BAB I
KEBUDAYAAN

                        Pengertian “Kebudayaan” banyak ragamnya lebih dari 150 definisi. Pegertian kebudayaan berawal dari kata Yunani “colore”, dalam bahasa Inggris disebut culture yang berbeda dengan kata civilisation (peradaban). Di beberapa negara Eropa, peradaban mencakup kebudayaan. Di Jerman istilah “zivilisation” berarti peradaban lahir, yaitu tata pergaulan yang halus, tehnik dan organisasi masyarakat yang tinggi derajatnya, sistem hukum yang teratur dengan baik. Sedangkan kebudayaan merupakan peradaban batin, yaitu kehalusan budi, keluhuran batiniah, ketinggian ilmu pengetahuan dan kesenian. (Asmoro Achmadi : 9)
                        Budaya dalam bahasa Jawa berasal dari kata “budi” dan “daya”. Budi yaitu sikap kepribadian seseorang yang mewarnai suatu jiwa oleh nurani yang kemudian menjadi suatu citra bagi seseorang. Sedangkan daya yaitu suatu kekuatan yang diperoleh dari upaya tertentu untuk memperoleh suatu hasil. Dari serangkaian pengertian tentang budaya, dapat dipahami bahwa budaya merupakan suatu pola perilaku seseorang maupun masyarakat dalam kehidupan sehari – hari.
                        Dengan pemahaman bahwa masyarakat dunia adalah beraneka keragaman, tentunya dalam upaya memenuhi kehidupan sosial, mereka menghadapi berbagai gejolak sosial yang menuntut masyarakat untuk melakukan suatu upaya tertentu untuk memecahkan berbagai persoalan. Upaya – upaya itulah yang kemudian dianggap berhasil sehingga dilakukan terus – menerus yang pada akhirnya menjadi kebiasaan masyarakat yang bercorak khusus yang kemudian sebagai identitasnya.
                        Dengan budaya manusia berusaha memahami lingkungannya. Dengan budaya manusia dapat menguasai, melihat, memahami, mengklasifikasikan gejala yang tampak sekaligus menentukan strategi terhadap lingkungannya. Masyarakat dalam kehidupan secara langsung diperhadapkan dengan masalah yaitu alam. Alam merupakan lingkungan hidup masyarakat yang telah kompleks dengan masalahnya. Dengan adanya kebudayaan, manusia dapat mempertimbangkan akan keselarasan kehidupan dengan alam yang disebut mikro kosmos (manusia) dan makro kosmos (alam).


                       
Budaya Jawa
                         Menurut Karkono, kebudayaan Jawa adalah pancaran atau pengejawantahan budi manusia Jawa yang mencakup kemauan, cita – cita, ide maupun semangat dalam mencapai kesejahteraan, keselamatan, lahir dan batin.
                        Daerah asal orang Jawa adalah Pulau Jawa, yaitu suatu pulau yang panjangnya lebih dari 1.200 km, dan lebarnya 500 km. Pulau ini hanya 7 % dari seluruh dataran Kepulauan Indonesia. Pulau Jawa adalah bagian dari suatu formasi geologi tua berupa deretan pegunungan yang menyambung dengan deretan Pegunungan Himalaya dan pegunungan di Asia Tenggara, dari mana arahnya menikung ke arah tenggara kemudian ke arah timur melalui tepi –tepi daratan Sunda yang merupakan landasan Kepulauan Indonesia.
                        Pulau Jawa merupakan daerah gunung berapi yang memiliki sejumlah besar gunung berapi, baik yang masih bekerja maupun yang tidak, dengan ketinggian antara 1.500 hingga 3.500 meter diatas permukaan laut. Namun kesuburan tanah Pulau Jawa juga banyak disebabkan oleh iklimnya. Karena letaknya di antara dua benua, yaitu Benua Asia dan Australia, maka Kepulauan Indonesia pada umumnya dan Pulau Jawa pada khususnya mempunyai iklim yang dipengaruhi oleh angin musim. Angin musim, yang didalam satu musim berhembus dari samudra Hindia, dan dalam musim lain berhembus dari Benua Australia yang kering.
                        Orang Jawa hanya mendiami bagian tengah dan timur dari seluruh Pulau Jawa; sebelah baratnya (yang hampir seluruhnya merupakan dataran tinggi Priyangan), seperti kita ketahui adalah daerah Sunda. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa masyarakat Sunda merupakan jumlah penduduk terbesar nomer dua di Indonesia setelah Suku Jawa. Hampir seluruh pulau Jawa memang sangat padat penduduknya, bahkan pulau Madura yang gersang di sebelah timur lautnya berpenduduk lebih dari 2.000.000 jiwa pada tahun yang sama. Pulau Jawa yang luasnya hanya 7% dari seluruh wilayah kepulauan Indonesia dan dihuni oleh hampir 60% dari seluruh penduduk Indonesia, adalah daerah asal kebudayaan Jawa.
Bahasa Jawa
                        Bahasa kesusasteraan dan bahasa sehari – hari. Bahasa orang Jawa tergolong sub keluarga Hesperonesia dari keluarga bahasa Melayo – Polinesia (Murdock 1964 : 222). Bahasa Jawa telah dipelajari dengan seksama oleh sarjana – sarjana Inggris, Jerman, dan Terutama Belanda, pada umumnya menggunakan metode – metode filologi, dan bukan metode – metode linguistik. Ia memiliki suatu sejarah kesusasteraan yang dapat dikembalikan ke abad ke VIII, dan selama itu bahasa tersebut telah berkembang melalui beberapa fase yang dapat dibeda – bedakan atas dasar beberapa ciri idiomatik yang khas dan beberapa lingkungan kebudayaan yang berbeda – beda dari tiap pujangganya (Pigeaude 1967 – 1970 : 1, 11 – 14). Dengan demikian kecuali bahasa Jawa sehari – hari, masih ada bahasa Jawa kesusasteraan yang secara kronologi dapat dibagi kedalam enam fase seperti yang tersebut dibawah ini :
1.       Bahasa Jawa Kuno, yang dipakai dalam prasasti – prasasti Kraton pada jaman antara abad ke – VIII dan ke – X, dipahat pada batu atau diukir pada perunggu, dengan bahasa yang seperti dipergunakan dalam karya – karya kesusasteraan kuno abad ke – X hingga ke – XIV.
2.       Bahasa Jawa kuno yang dipergunakan dalam kesusasteraan Jawa – Bali. Kesusasteraan ini ditulis di Bali dan Lombok sejak abad ke – XIV. Tibanya Islam di Jawa Timur, kebudayaan Hindu – Jawa pindah ke Bali dimana kebudayaan itu menjadi mantap pada abad ke – XVI. Bahasa kesusasteraan ini hidup terus sampai abad ke – XX. Tetapi ada perbedaan yang pokok dengan bahasa yang dipakai sehari – hari di Bali sekarang
3.       Bahasa kesusasteraan Islam di Jawa Timur. Menggantikan kebudayaan Hindu – Jawa di daerah aliran sungai Brantas dan daerah hilir sungai Bengawan Solo pada abad ke – XVI dan ke – XVII.
4.       Bahasa kesusasteraan kebudayaan Islam Jawa di daerah pesisir. Kebudayaan yang berkembang di pusat – pusat agama di kota – kota pantai utara Pulau Jawa dalam abad ke – XVII dan ke – XVIII, oleh orang Jawa sendiri disebut kebudayaan pesisir. Kebudayaan pesisir yang lebih muda, berpusat di kota Pelabuhan Cirebon. Kebudayaan pesisir timur yang lebih tua berpusat di kota – kota Demak, Kudus, dan Gersik.
5.       Bahasa kesusasteraan di kerajaan Mataram. Bahasa ini adalah bahasa yang dipakai dalam karya – karya kesusasteraan karangan para pujangga Kraton Kerajaan Mataram abad ke – XVIII dan ke – XIX, yang terletak di daerah aliran Sungai Bengawan Solo ditengah kompleks pegunungan Merapi – Merbabu – Lawu di Jawa Tengah, dimana bertemu juga lembah Sungai Opak dan Praga.
6.       Bahasa Jawa masa kini. Adalah bahasa yang dipakai dalam percakapan sehari – hari masyarakat Jawa dan dalam buku – buku serta surat – surat kabar berbahasa Jawa dalam abad ke – XX ini. (Koentjaraningrat 1982 :18)
                        Menurut para ahli epigrafi, tulisan Jawa berasal dari suatu bentuk tulisan Sansekerta Dewanagari dari India Selatan yang terdapat pada prasasti – prasasti yang berasal dari Dinasti Palawa yang menguasai daerah – daerah pantai India Selatan pada abad ke – IV. Tulisan itu dinamakan juga tulisan Palawa. Tulisan Palawa dapat diperkirakan digunakan di Jawa pada abad ke – IV. Huruf – Huruf Palawa di Jawa mengalami perubahannya sendiri, sehingga huruf yang digunakan oleh pujangga – pujangga Jawa Timur dari abad ke – X hingga XI dalam ciptaan – ciptaan kakawin mereka, sudah mempunyai ciri khas Jawa.


                        Huruf jawa yang sudah mengalami banyak perubahan telah mencapai bentuknya yang sekarang terdapat 20 huruf yaitu :
a                           n                            c                           r                             k
f                           t                           s                           w                           l
p                           d                           j                           y                           v
m                            g                            b                           q                           z
bhineka tunggal ika, tan hana darma mangruwa            
bi[nktu=glHik,tnHnf/mm=zu]w
                        Masyarakat Jawa pada akhirnya menjadi suatu masyarakat yang telah mengenal tulis dan sastra.











Bab II
MANUSIA JAWA

                        Masyarakat Jawa berdasarkan letak geografisnya dibedakan menjadi dua yaitu daerah pesisiran dan kota gedhe termasuk daerah (pegunungan). Menurut pandangan orang Jawa sendiri, kebudayaannya tidak merupakan suatu kesatuan yang homogen. Mereka sadar akan adanya suatu keanekaragaman yang sifatnya regional. Perbedaan itu tampak pada bahasa, logat, makanan, upacara adat, dan kesenian.
                        Yang dimaksud dengan daerah pesisir adalah daerah – daerah yang berada di sisi utara sepanjang pantai utara Pulau Jawa seperti :
-          Jawa Barat : Bekasi, Tambun, Cibitung, Cikarang, Karawang, Klari, Kosambi, Dawuan, Cikampek, Sukamandi, Pamanukana, Kandanghaur, Lohbener, Jatibarang, Arjawinangun, Palimanan, Weru, Cirebon, Losari
-          Jawa Tengah : Tanjung, Pejagan, Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang, Waleri, Kendhal, Semarang, Demak, Trengguli, Kudus, Pati, Rembang, Lasem
-          Jawa Timur : Tuban, Widang, Babad, Lamongan, Gresik, Surabaya, Waru, Sidoarjo, Porong, Gempol, Bangil, Pasuruan, Nguling, Probolinggo, Paiton, Besuki, Panarukan, Situbondo, Bajulmati, Ketapang.
                        Daerah – daerah tersebut mempunyai corak kebudayaan yang berhubungan dengan kelautan. Pola kehidupan yang keras menyebabkan segala pola pemikiran, budaya, bahasa menjadi lebih lugas, merakyat dan sederhana.
                        Berbeda dengan daerah Kraton hingga ke pesisir laut selatan, seperti Surakarta, Yogyakarta, Madiun, Blitar, Kediri yang dalam tata regional disebut dengan “Negari Gung”. Tata budaya, bahasa, seni, merupakan akar dari budaya yang berkembang di masyarakat, menyebabkan pola kehidupan masyakaratnya lebih halus.
                        Tata regional yang dimaksut adalah
1.       Banten                                   : Banten
2.       Sunda                                     : Jawa Barat
3.       Pesisir Kilen                          : Pantura Jawa Tengah
4.       Pesisir Wetan                       : Pantura Jawa Timur
5.       Banyumas                              : Banyu Mas
6.       Bagelen                                  : Selatan Sungai Serayu
7.       Nagari Gung                          : Jawa Tengah
8.       Manca nagari                        : Jawa Timur
9.       Madura                                  : Madura
10.    Tanah sabrang Wetan         : Daerah timur Jawa Timur (selat Bali)
                        Meskipun kebudayaan Jawa adalah satu kesatuan, melihat daerah masyarakat yang beraneka ragam, dengan karakter alam yang berbeda juga, menyebabkan sikap tindakan masyarakatnya juga berbeda – beda. Akhirnya terbentuklah sistem strata dalam masyarakat yaitu kaum Priyayi, kaum Kawula Cilik, Kaum Santri, Dan Kaum Abangan.
                        Kaum priyayi adalah masyarakat yang masih kerabat Kraton, atau pun masyarakat yang berperilaku keningrat – ningratan atas dasar kebudayaan dan pola berfikirnya. Sedangkan Kaum Kawula Cilik adalah golongan masyarakat menengah kebawah yang pola berfikir serta kebudayaannya sangat sederhana.
                        Karena dalam masyarakat Jawa terdapat pengaruh Agama Islam yang cukup kuat, akhirnya terbentuklah pula corak golongan masyarakat tersendiri yaitu Kaum Santri yang pola hidup dan kebudayaannya mengikuti budaya keagamaannya. Sedangkan kaum Abangan adalah kelompok masyarakat yang memeluk agama Islam, namun tetap mempertahankan Budaya masyarakatnya yaitu Jawa.
Sikap Masyarakat Jawa
                        Kraton merupakan akar budaya dan kiblat dari segala cara pandang masyarakat Jawa, yang kemudian tampak pada sikap masyarakat yaitu :
-          Sikap Feodalistik
                        Feodalisme merupakan sikap mental terhadap sesama dengan mengadakan sikap khusus, karena adanya perbedaan pangkat, usia, turunan, kedudukan, dan sebagainya, yang diimplementasikan kedalam bahasa dan budaya. Sehingga muncul yang disebut “unggah – ungguh”. Dalam kalangan feodalisme sangat diperhatikan dan ditradisikan. Tradisi dan budaya feodalisme sampai sekarang sedemikian mengakar dalam masyarakat Jawa.
-          Sikap Beragam
                        Masyarakat Jawa membangun konsep “kautamaning Urip”. Harus “ajur ajer”, mau bergaul dengan siapa saja, dan tidak merugikan orang lain. Orang yang mempunyai watak sombong “unggul – unggulke”, akan cenderung dihindari oleh masyarakat.
-          Sikap Fatalistik
                        Arti Fatalistik adalah pasrah. Orang Jawa beranggapan bahwa hidup ini hanyalah “mampir ngombe”, sehingga hahal – hal apapun yang ada di dunia ini jangan sampai menjadi segala –galanya dalam hidup. Jangan sampai hidup yang sementara ini dibuat susah atau disia – siakan, yang secara bijaksana harus disikapi dengan “sa-madya”, sewajarnya saja. Ada ungkapan Jawa yang mengatakan “kridhaning ati tan bisa mbedhah kuthaning pasthi, pambudidayane manungsa ora bisa ngungkuli garising kawasa”, yang artinya apapun yang diusahakan manusia tidak akan bisa merubah apa yang telah ditetapkan oleh Tuhan.
-          Sikap Tepasalira
                        Tepasalira adalah suatau sikap dimana kita menempatkan diri pada situasi orang lain. Dengan sikap demikian akan terhindar dari sikap - sikap semena yang akan banyak merugikan orang lain. Dengan tepasalira orang dapat mudah memaafkan, tidak gegabah, adil dan lain sebagainya.
                        Sebetulnya masih banyak lagi sikap – sikap dari masyarakat Jawa yang lahir dari proses pemikiran yang tinggi sehingga tampak terkesan mengadha – ada dan sangat susah sekali untuk diterapkan. Semua pemikiran masyarakat Jawa yang berakar pada Kraton sendiri adalah merupakan suatu esensi dari idiologi kebaikan yang semata – mata untuk mengutamakan kehidupan manusia yang damai dan sejahtera.

               
                         
                       










Bab III
KITAB PUJANGGA

                        Masyarakat Jawa telah terkonsep dengan segala kaidah – kaidah kebenaran demi tertatanya kehidupan yang mulia, dengan menjadikan segala norma – norma kebaikan itu menjadi suatu idiologi yang harus dicapai. Tentunya semua itu tidak lepas dari masalah – masalah sosial yang ada didalam masyarakat itu sendiri. Tidak menutup kenyataan bahwa setiap manusia pasti mempunyai kecenderungan untuk berbuat salah.
                        Pemikiran Jawa mempunyai impian untuk ingin mencapai tataran kehidupan yang mulia, dalam bahasa Jawa disebut “gemah ripah loh jinawi, kerta tata raharja”. Masyarakat intelek sepenuhnya sepakat untuk mewujudkannya dengan upaya “memayu hayuning jagad, memulya ngarcapada”. Kesemuanya itu adalah cita – cita bersama yang telah turun - temurun dari nenek moyang hingga saat ini yang belum dapat tercapai dan akan terus diusahakan sampai kapanpun demi terwujudnya impian bersamanya itu.
                        Sejak jaman pra sejarah, manusia khususnya manusia Jawa telah terlahir dengan rasa kerinduannya terhadap kehidupan yang mulia. Hingga pada jaman Hindhu – budha masuk ke wilayah Nusantara, masyarakat Jawa yang telah melahirkan banyak nilai – nilai dalam kehidupannya mulai mengaltukurasi nilai – nilainya dengan budaya asing yang masuk.
                        Jaman Kerajaan – kerajaan Hindhu Budha hingga Islam telah banyak mewarnai pemikiran masyarakat Jawa. Banyak pujangga – pujangga yang melahirkan karya sastra demi masyarakatnya yang mulai larut dengan pemikiran – pemikiran “nyleneh” yang tidak sesuai dengan konsep budaya Jawa.  Para pujangga Kraton dalam rangka mekritik masyarakat bahkan kepada kaum bangsawan hingga raja sekalipun, dikemas dengan rapi, diuntai dengan kata – kata indah, hingga yang tersentuh tidak sakit hatinya namun dapat merasuk hingga hati yang terdalam.
                        Seperti pada jaman Kraton Surakarta Hadiningrat dan Pura Mangku Negara, banyak pujangga yang melahirkan karya sastra berupa kitab – kitab yang berbertuk prosa hingga sajak / tembang.
                        Salah satu Kitab yang populer hingga sekarang adalah Kitab WEDHATAMA yang diciptakan di Era Sri Susuhunan Pakubuwono IX di Kasunanan Surakarta Hadiningrat, dan pada masa Sri Mangkunegara IV di Kamangkunegaran. Karya yang luar biasa itu tidak diketahui secara jelas siapa pengarangnya. Apakah R. Ng. Ranggawarsita Pujangga Kraton Surakarta Hadiningrat, ataukah RM. Ng. Wiryokusumo Abdi Dalem Pura Mangkunegaran, ataukah sang raja sendiri KGPAA. Mangkunegara IV sendiri ?
                        Kitab Wedhatama adalah sebuah karya sastra yang terbentuk dari  beberapa tembang yaitu Pangkur, Sinom, Pucung, dan Gambuh, yang berjumlah 72 pupuh tembang. Namun ada versi lain yang mengatakan bahwa Wedhatama berjumlah 100 bait. Yang 18 bait adalah berbentuk tembang Kinanthi.
                        Dari keempat tembang Pangkur, Sinom, Pucung, dan Gambuh dalam Serat Wedhatama mempunyai filosofi tersendiri yaitu :
-          Pangkur sebagai sembah Raga
-          Sinom sebagai sembah Cipta
-          Pucung sebagai sembah Jiwa
-          Gambuh sebagai sembah Rasa
                        Sembah raga adalah sembah yang dilakukan oleh raga, sembah cipta adalah sembahnya angan – angan. Raga dan cipta ini termasuk lahiriah. Sedangkan Sembah jiwa bukanlah urusan dari lahiriah lagi melainkan batiniah. Tujuan dari jiwa sering lain dari tujuan cipta dan raga. Jadi usaha jiwa belum tentu disetujui oleh raga dan cipta. Sebab jiwa ini tujuannya hanyalah kembali kepada Tuhan. Sedangkan raga juga akan mulih tetapi mulihnya keempat asal yang lain. Demikian si angan – angan cipta. (Anjarani 1983 : 30)
                        Berikut beberapa pupuh tembang dalam Serat Wedhatama.

Tembang Pangkur (14 bait)
1.       Mingkar mingkur ing angkara,
                        Akarana karenan mardi siwi,
                        Sinawung resmining kidung,
                        Sinuba sinukarta,
                        Mrih kretarta pakartining elmu luhung,
                        Kang tumrap ing tanah Jawa,
                        Agama ageming aji. (bait 1)

2.       Uripe sepisan rusak,
Nora mulur nalare ting saluwir,
Kadi ta guwa kang sirung,
Sinerang ing maruta,
Gumarenggeng anggereng,
Anggung gumrunggung,
Pindha padhane si mudha,
Prandene paksa kumaki. (bait 6)

Tembang Sinom (18 bait)
1.       Nulada laku utama,
Tumrape wong Tanah Jawi,
Wong Agung ing Ngeksiganda,
Penembahan Senopati,
Kepati amarsudi,
Sudane hawa lan nepsu,
Pinesu tapa brata,
Tanapi ing siyang ratri,
Amemangun karyenak tyasing sasama. (bait 1)

2.       Mangkono janma utama,
Tuman tumanem ing sepi,
Ing saben rikala mangsa,
Masah amemasuh budi,
Laire anetepi,
Ing reh kasatriyanipun,
Susila anoraga,
Wignya met tyasing sesami,
Yeku aran wong barek berag agama. (bait 17)

Tembang Pucung (15 bait)
1.       Ngelmu iku,
Kalakone kanthi laku,
Lekase lawan kas,
Tegese kas nyantosani,
Setya budya pangekese dur angkara. (bait 1)

2.       Lila lamun,
Kelangan nora gegetun,
Trima yen ketaman,
Saserik sameng dumadi,
Tri legawa nalangsa srah ing Bathara. (bait 11)



Tembang Gambuh (25 bait)
1.       Sembah raga punika,
Pakartine wong amagang laku,
Susucine asarana saking warih,
Kang wus lumrah limang wektu,
Wantu wataking weweton. (bait 2)

2.       Kalamun durung lugu,
Aja pisan wani ngaku aku,
Antuk siku kang mengkono iku kaki,
Kena uga wenang muluk,
Kalamun wus padha melok. (bait 24) (Anjar Any 1983 : 31 – 45)

                        Memang amatlah sulit untuk memahami makna tembang – tembang diatas. Untuk dapat memahami kita harus menerjemahkan kedalam bahasa yang lebih sederhana atau kedalam bahasa Indonesia, kemudian kita kupas satu persatu kata, kalimat dan mencari maknanya, barulah kita dapat menyimpulkan apa sebenarnya pesan yang ingin disampaikan.
                        Dengan demikian telah dapat ditarik kesimpulan bahwa, masyarakat Jawa penuh dengan pertimbangan etika. Ketika ingin mengingatkan seseorang yang salah pun harus dengan cara yang hormat dan halus agar tidak menyakiti hatinya.











Bab IV           
WAYANG SEBAGAI DASAR FILOSOFI MASYARAKAT

                        Norma dan nilai yang tersebar di tengah masyarakat tidak lepas dari filsafat pemikiran budaya Jawa itu sendiri. Hasil budaya masyarakat Jawa salah satunya adalah wayang.               
Menurut para ahli arkeologi Indonesia, keberadaan bentuk asli wayang diketahui telah ada sejak jaman kuno sebelum adanya agama Hindu dan Budha memasuki Nusantara. Wayang merupakan milik bangsa Nusantara asli, keberadannya berhubungan dengan kepercayaan masyarakat kuno yang disebut animisme.

Menurut kapercayan Animisme roh nenek moyang atau leluhur bisa digunakan untuk meminta petunjuk atau meminta bantuan dalam mencapai kemuliaan juga dapat diminta untuk perlindungan dari rasa kesusahan, ataupun kecelakan yang dialami manusia. Kebalikannya roh itu juga dipercaya yang dapat menyebabkan gangguan atau kecelakaan manusia. Maka yang demikian itu, bila ada yang ingin  untuk meminta bantuan roh para leluhur, lalu diadakan seperti halnya upacara ritual selamatan, yang dipercaya dapat mengundang atau mendatangkan para roh leluhur yang telah meninggal untuk dimintai keselamatan dan kemuliaan manusia. Upacara ritual itu diadakan dengan cara mementaskan pagelaran wayang.

Kira-kira awal tahun masehi, seperti yang diceritakan oleh para ahli sejarah, bangsa Hindu yang berasal dari Jazirah India banyak yang datang menjadi imigran di Indonesia. Setelah sekian lama, mau tidak mau menjadikan pengaruh kabudayan Hindu-Budha ini akhirnya dapat diterima oleh penduduk asli Indonesia.

Didalam jaman itu, basa Sansekerta telah dipakai oleh kalangan bangsawan yang selanjutnya mempengaruhi basa asli Jawa lan Bali. Disini  kesenian wayang oleh bangsa Hindu dipakai sebagai wadah pengembangan dan sarana untuk menjelaskan budaya agama Hindu lewat cerita Mahabharata dan Ramayana. Semakin lama keadaan yang demikian itu selanjutnya menjadikan tercampurnya dan menyatunya budaya asli bangsa Indonesia dengan budaya Hindu. Kesenian wayang yang budayanya telah campur menyatu ini, seterusnya menjadi sebab dari agama hindu sehingga cepat menyebar, meresap dan diterima di masyarakat Indonesia.

Maka dari itu, didalam cerita wayang banyak tatanan budaya agama Hindu. Menurut kitab Sastra Centhini disebutkan asal mula kesenian wayang purwo yang diciptakan oleh Raja Jayabaya dari Kerajaan Kediri.  Kira-kira pada abad 10, Raja Jayabaya mencipta dengan membuat penggambaran roh leluhurnya yang lalu dilukiskan pada daun lontar. Penggambaran tersebut tadi banyak yang diambil dari lukisan ”relief” crita Ramayana, yang telah ditulis pada candi Penataran Blitar. Raja Jayabaya kemudian sangat tertarik kepada isi cerita Ramayana karena dirinya termasuk raja yang meyembah Dewa Wishnu, dan juga sampai sekarang oleh masyarakat masih dipercaya, bahwa Prabu Jayabaya adalah panjelmaan dan inkarnasi dari Bethara Wishnu.

Pada jaman sesudahnya, yaitu jaman Jenggala kesenian wayang purwa  disempurnakan wujudnya oleh Raja Jenggala Raden Panji Rawisrengga yang bergelar Sri Suryawisesa.  Selanjutnya menjadi bagus dan lebih  indah. Diceritakan kemudian wayang - wayang yang telah terbentuk tadi lalu dikumpulkan dan disimpan didalam peti khusus yang berseni indah. Bersamaan dengan itu juga diciptakan pakem crita wayang purwa yang pagelaranya diadakan setiap ada upacara-upacara penting didalam istana kerajaan dan juga didalangi sendiri oleh Sri Suryawisesa.

Sewaktu jaman Majapahit penggambaran kesenian wayang itu semakin lebih disempurnakan dan menjadi lebih bagus, karena telah ditambahkan pada bagian – bagian terdahulu yang menjadi kekuranganya, lalu digulung menjadi satu. Wayang yang wujudnya gulungan tersebut apabila digunakan pagelaran, gulunganya kemudian dibeber. Jenis wayang yang demikian lalu dinamakan Wayang Beber. Sejak diketemukannya wayang beber ini, kesenian wayang kemudian dipertontonkan merambah luar lingkungan keraton, dan sejak itu juga masyarakat diluar keraton dapat ikut melihat keindahan dari pagelaran kesenian wayang beber.

Selanjutnya mendekati akhir  jaman Majapahit, pengaruh Agama Islam telah mulai berkembang dan tersebar di tanah Jawa. Oleh para wali, kesenian wayang itu juga dipakai sebagai media yang effektif untuk menjelaskan ajaran agama Islam. Keadaan yang seperti itu juga yang akhirnya menjadikan kesenian wayang banyak perubahan pada wujud yang cukup signifikan, untuk menghilangkan penggambaran manusia yang didalam Agama Islam diharamakan serta  juga untuk menghilangkan penggambaran yang merupakan pengaruh agama Hindu. Pada jaman itu, perwujudan wayang mulai dirubah, dibuat dari kulit dan tulang yang wujudnya hanya seperti simbol-simbol supaya penggambaran manusia menjadi tersamarkan, yang kemudian hingga sekarang perwujudan wayang hanya seperti dan menjadi rupa simbol-simbol penggambaran kehidupan manusia.

Setelah banyak mengalami perubahan dan perkembangan, sampailah pada jaman keemasan pada keberadaan wayang kulit ketika pada jaman Kraton Surakarta. Setelah kerajaan Mataram Islam pecah menjadi dua yaitu Keraton Surakarta dan Yogyakarta, wayang kulit mengalami penyempurnaan yang lebih tinggi tatarannya. Wayang kulit dikemas dalam suatu pertunjukan yang agung.

Didalam pertunjukan wayang didalamnya memuat segenap aspek seni maupun nilai – nilai filosofi yang terkandung didalamnya. Didalam cerita wayang, nilai – nilai agama Hindhu dan Islam “dinetralisir” oleh para empu agar keberadaan wayang menjadi bersifat lebih universal. Nilai – nilai budaya Jawa (Kraton) mendominasi esensial wayang yang memang sumber ceritanya berasal dari tanah Hindustan. 

Bentuk atau wujud dari nilai – nilai filosofi Jawa yang menjadi esensial cerita wayang beberapa diantaranya sebagai berikut :
-          Cerita wayang dari India digubah yang kemudian disesuaikan dengan pemikiran – pemikiran Jawa. Sebagai contoh, gaya komunikasi antar tokoh menjadi menggunakan bahasa Jawa yang sarat akan unggah – ungguh dan nilai moral budaya Jawa.
-          Esensial kedewaan Hindu diturunkan dan digantikan akan adanya Tuhan Yang Maha Kuasa
-          Pertunjukan wayang menggunakan : Kelir, blencong, cempala, keprak, kothak, dan gamelan
-          Pertunjukan wayang dilakukan oleh dalang yang dibatu oleh waranggana dan pengrawit

Dengan kemasan yang demikian tersebut, esensial hindhu maupun Islam telah dapat “tersamarkan” dan lebih menonjolkan esensi kebudayaan Jawa.

            Filosofi pandangan hidup Jawa tampak pada berbagai bentuk unsur dan karakter wayang, sebagai contoh berikut:
1.     Pada wayang gunungan

-          Gunungan merupakan salah satu perwakilan filosofi hidup menurut Jawa yang tersirat. Menurut pandangan Jawa, kehidupan dibagi menjadi 3 tataran yaitu : lahir, hidup, dan mati. Konsep pemikiran itu tampak pada lukisan tangga yang berjumlah tiga tingkatan.
-          Manusia hidup selalu pada dua posisi yang bertentangan yaitu : baik – buruk, terang – gelap, laki – perempuan, susah – senang dll. Pemikiran ini tampak pada dua raksasa yang menjaga pintu pendopo yang selalu megawal manusia dalam kehidupan.
-          Didalam hidup manusia harus dapat mengalahkan sikap yang buruk agar dapat mencapai jiwa utama. Pemikiran ini tampak pada penggambaran bantheng yang melawan harimau.
-          Manusia hidup ibarat menanam benih yang diharapkan dapat tumbuh dan berbuah yang baik. Namun dalam perjalanannya selalu banyak cobaan dan rintangan seperti congkak, licik, perebutan kekuasaan dsb. Keadaan ini tampak pada lukisan pohon kehidupan yang dililit ular, dihinggapi merak dan kera.
-          Pada akhirnya manusia yang lulus pada pencobaan dalam hidup, akan mencapai kemuliaan hidup. Ini tampak pada bunga yang tumbuh di puncak pohon kehidupan.

2.       Wayang Werkudara
Dalam masyarakat Jawa, tokoh Werkudara atau Bima sangat populer. Banyak masyarakat yang mengidolakan sosok Bima sebagai simbol sikap hidupnya hingga memakai nama Bima sebagai nama anaknya. Raden Werkudara atau Bima adalah salah satu dari satriya Pandhawa yang berkesatriya di Jodhipati ini merupakan sosok tokoh yang berjiwa teguh, apa yang menjadi prinsipnya tidak ada yang dapat menghentikannya. Sosok Bima juga merupakan perwujudan murid yang patuh kepada gurunya. Dalam mencapai ilmu kesempurnaan hidup, meskipun rintangan yang dihadapinya sangatlah sulit, namun Bima tetap teguh tanpa menyerah. Berbudi pekerti luhur, menghormati leluhur, mengutamakan kebenaran, tidak pilih kasih, siapapun yang bersalah harus dilawan, tanpa memandang itu saudara atau teman.

3.       Wayang Gathutkaca
Simbol jiwa kesatriya langsung tampak pada sosok tokoh Raden Gathutkaca putra Bima ini. Meskipun masih muda ia telah menjadi raja di Pringgondani, menjadi senapati Negara Amarta, dan rela mati dalam pertempuran Baratayudha demi membela leluhur dan negaranya. Sosok yang demikian menjadi idola masyarakat, kiblat para prajurit dalam menjalankan tugasnya. Banyak kaum muda yang lupa akan kuwajibannya, terlena dengan bingar – bingar masa muda, dan pada akhirnya menyia – nyiakan segala kesempatan yang seharusnya diraih pada masa muda, demi mempersiapkan diri dalam meraih cita – cita dimasa depan.

4.       Wayang Kresna
Prabu Kresna merupakan raja Dwarawati. Karena kebijaksanaannya, ia dipercaya oleh Pandhawa sebagai penasehat dan “pamomong” di negara Amarta. Sosok Kresna merupakan citra seorang pemimpin yang ideal. Sikap dan tindakannya serba luwes, apapun masalah yang dihadapi dapat diselesaikan dengan tuntas tanpa meninggalkan persoalan yang lain. Sikap pemimpin yang dimiliki Prabu Kresna dinamakan “Hasthabrata”. Hasthabrata adalah delapan sikap kepemimpinan yang meliputi :

-          Sifat Matahari : menerangi segenap alam semesta.
-          Bintang : mempunyai watak sebagai juru penunjuk arah  mata angin
-          Rembulan : mempunyai watak memberi rasa tentram
-          Mendung : mempunyai watak pengayom
-          Angin : mempunyai watak menempati segala keadaan
-          Api : mempunyai watak adil tidak membeda – bedakan
-          Bumi : mempunyai watak suka memberi
-          Laut : mempunyai watak ikhlas




5.       Karawitan
Pertunjukan wayang yang dalam penyajiannya diiringi dengan karawitan, terbagi dalam tiga bagian yang disebut dengan pathet. Tiga bagian tersebut adalah pathet Enem, pathet Sanga, pathet Manyura.

-          Pathet Enem merupakan gambaran adanya permasalahan dalam hidup.
-          Pathet Sanga merupakan gambaran adanya pencerahan untuk menyelesaikan permasalahan.
-          Pathet Manyura merupakan gambaran penyelesaian masalah
Dengan landasan filsafat, manusia mempunyai cara pandang dalam hidup yang tinggi, dengan demikian dapat menyelesaikan permasalahan hidup dengan bijaksana. Nilai akan membentuk moralitas yang luhur. Konsep pemikiran Jawa dapat dijadikan perisai yang ampuh dalam mengatasi segala gejolak kehidupan yang carut marut.












Bab V
RAMAYANA

                        Ramayana merupakan cerita berbentuk prosa karangan Empu Walmiki dari Tanah Hindustan yang masuk ke Nusantara bersamaan dengan masuknya Agama Hindhu sekitar abad ke V – VII.
                        Secara garis besar, Kitab Ramayana berisi tentang perjalanan pangeran Rama dari Negara Ayodya putra Raja Dasarata. Raja Negara Ayodya mempunyai tiga permaisuri yaitu Dewi Sukasalya, Dewi Sumitra, Dan Dewi Kekeyi. Ketiganya masing – masing mempunyai putra yaitu Pangeran Rama putra Dewi Sukasalya, Pangeran Lesmana putra Dewi Sumitra, kemudian Pangeran Barata dan Pangeran Satrugna putra dari Dewi Kekeyi.
                        Raja Dasarata sangat berbahagia dengan adanya keempat putranya yang masing – masing mempunyai kelebihan, juga yang perparas sangat tampan. Terlebih pangeran Rama yang gemar mempelajari semua ilmu pengetahuan yang bersifat lair maupun kebatinan. Karena kegigihannya dalam belajar, oleh Ayahandanya, Pangeran Rama diberikan kepada Resi Wasista dan Wismamitra untuk dididik supaya menjadi pangeran yang cakap, kelak dapat menggantikan ayahnya menjadi raja di Ayodya.
          Prabu Rawa Wijaya           
                        Dalam perjalanannya, Pangeran Rama selalu diikuti oleh adiknya yang amat setia yaitu Pangeran Lesmana. Keduanya senang sekali membantu rakyat dan melindungi para pendeta dari gangguan rasaksa yang selalu mengusik ketentraman para pendeta. Telah banyak rasaksa yang telah dapat ditumpas, hingga mati oleh panah – panah kedua pangeran Ayodya.
                        Suatu hari, raja Kerajaan Manthili yaitu Raja Janaka mengelar sayembara untuk mengangkat pusaka kerajaan yang berwujud Busur bernama Gandhiwa. Barang siapa yang dapat mengangkatnya serta dapat menggunakannya, siapapun itu berhak pemperistri putri tunggalnya yang bernama Dewi Sinta. Banyak raja yang telah berkompetisi untuk memperebutkan Dewi Sinta yang memang terkenal akan kecantikannya, tetapi belum ada satu pun yang berhasil mengangkat pusaka Gandhiwa. Sampai pada saatnya Pangeran Rama datang untuk mencoba mengikuti sayembara angkat Gandhiwa. Apa yang dilakukan Pangeran Rama membuat semua raja tercengang, karena dengan sangat mudah Pusaka Gandhiwa dapat diangkat dan ditarik hingga patah menjadi dua. Karenanya, Dewi Sinta menjadi istri Pangeran Rama dan segera diboyong ke negara Ayodya.
                        Setelah Pangeran Rama telah cakap, Raja Dasarata bermaksut akan turun tahta dan sebagai penggantinya adalah Pangeran Rama. maksut yang demikian ini ternyata mengusik ketentraman Dewi Kekeyi. Keinginan raja Dasarata dianggap melanggar janji yang pernah dibuat. Dahulu, ketika Raja Dasarata akan meminang Dewi Kekeyi, pernah bersumpah akan memenuhi segala permintaan yang diminta oleh Dewi Kekeyi. Kemudian Dewi Kekeyi meminta syarat bahwa, ia bersedia diperistri jika kelak dikaruniai putra laki – laki, ia harus dinobatkan menjadi raja pengganti Raja Dasarata.
       Keinginan untuk menobatkan putranya yaitu Pangeran Barata amat besar. Dewi Kekeyi ingin melihat Pageran Barata yang duduk di singgasana Kerajaan Ayodya, bukannya Pangeran Rama putra Dewi Sukasalya. Sebelum acara penobatan, Dewi Kekeyi menemui Raja Dasarata dan menyampaikan keluh kesahnya, juga mengingatkan janji Raja yang pernah diucapkan dulu. Mendengar ucapan Dewi Kekeyi, Raja Dasarata kemudian menjadi resah dan gelisah. Dewi Kekeyi juga meminta agar Pangeran Rama pergi dari kerajaan dan tinggal di hutan selama 12 tahun, dengan maksud agar tidak mengancam pemerintahan Pangeran Barata.
                   Dewi Sinta
                        Dengan berat hati Raja Dasarata menyampaikan semua kejadian ini kepada Rama. Mendengar penjelasan sang ayahanda, Pangeran Rama menerimanya dengan ikhlas. Ia mempunyai pemikiran, siapa saja yang mejadi raja tidak ada persoalan, apalagi Barata adalah juga merupakan putra ayahandanya. Untuk permintaan Dewi Kekeyi agar ia pergi dari kerajaan, juga dapat dilaksanakan. Dalam tekatnya ia harus menghormati Dewi Kekeyi yang juga merupakan ibunya. Melihat sikap Pangeran Rama yang demikian, membuat Raja Dasarata lebih amat terpukul, karena anak yang dikasihinya akan meninggalkan kerajaan demi menjaga kehormatan ayahnya yang pernah berjanji pada Ibundanya Dewi Kekeyi.
                        Segeralah Pangeran Rama pergi meninggalkan kerajaan yang diikuti istri dan adik setianya yaitu Pageran Lesmana.  Kepergian Pangeran Rama membuat kesediahan disegenap rakyat Ayodya terlebih Raja Dasarata dan Dewi Sukasalya. Sesampainya di Hutan Dandaka, Pangeran Rama, Dewi Sinta, dan Pangeran Lesmana menjalani sikap hidup brahmana yang sangat sederhana.
                        Disisi lain, peristiwa sayembara angkat Gandhiwa mengusik ketentraman Raja Rahwana dari Negara Alengka. Waktu itu ia tidak dapat mengangkat Pusaka Negara Manthili, padahal ia sangat ingin memperistri Dewi Sinta. Ketika mendengar bahwa Dewi Sinta sedang berada didalam Hutan Dandaka, ia segera pergi bersama abdi Macira untuk menemukan Dewi Sinta.  
                        Ketika sampai di Hutan Dandaka dan mengetahui keberadaan Dewi Sinta, Raja Rahwana memperintahkan Kala Marica untuk mencari sarana bagaimana supaya dapat menculik Dewi Sinta. Lalu Marica merubah wujud dirinya menjadi Kijang Mas dan mendekati Dewi Sinta. Rekayasa itu ditujukan untuk memisahkan Dewi Sinta dengan Pangeran Rama. karena sangat tertarik dengan keindahannya, Dewi Sinta meminta Pangeran Rama untuk dapat menangkap Kijang Mas sebagai peliharaan. Kijang Mas kemudian lari menuju ketengah hutan, sehingga Dewi Sinta tinggalah berdua dengan Pangeran Lesmana.
                        Ternyata Raja Rahwana masih mempunyai tipu daya. Ia mengalihkan perhatian Dewi Sinta dengan cara menirukan suara Pangeran Rama yang sedang kesakitan didalam hutan. Mendengar hal itu, Dewi Sinta meminta Pangeran Lesmana untuk segera menyusulnya. Benar saja, Pangeran Lesmana tidak tinggal diam. Sebelum ia pergi, ia memagari gubug peristirahatan Kakandanya itu dengan Kalacakra. Pangeran Lesmana berpesan kepada kakandanya agar tidak sekali – sekali keluar gari garis pagar yang telah dibuatnya demi menjaga keselamatan Dewi Sinta.
                  Raden Lesmana                  
                        Tindakan Pangeran Lesmana diawasi oleh Raja Rahwana. Tidak kekurangan akal, ia membuat tipu daya lagi dengan merubah wujudnya menjadi seorang Brahmana tua yang sedang kehausan. Dengan tertatih – tatih, ia berjalan mendekati gubug Dewi Sinta dan berteriak meminta belas kasihan agar diberikan setengguk minuman. Dewi Sinta yang ingin menolong brahmana itu, kemudian ingat akan pesan adindanya Pangeran Lesmana agar tidak keluar garis yang telah dibuat.
                        Brahmana yang tau akan keragu – raguan Dewi Sinta, ia segera menyumpahi Dewi Sinta, apa bila ia tidak mau menolong brahmana yang sedang kehausan, ia akan terkena kutukan dari dewa. Mendengar hal itu Dewi Sinta menjadi runtuh hatinya. Ia segera keluar dari garis pagar yang melindunginya, untuk memberikan air kepada brahmana tua penjelmaan Raja Rahwana.
                        Ketika Dewi Sinta telah mendekat, brahmana tua lalu merubah wujud aslinya, dan segera membawa terbang Dewi Sinta pergi menuju Negri Alengka. Ditengah hutan Pangeran Rama dan Lesmana bertemu dan menjadi kebingungan. Tanggap dengan keanehan itu, Pangeran Rama segera kembali ke gubug peristirahatan, dan benar istrinya telah lenyap seperti ditelan bumi.
                        Di angkasa, Raja Rahwana yang sedang menggendong Dewi Sinta diketahui oleh seekor Garudha bernama Jatayu. Jatayu adalah rekan dari Raja Dasarata. Melihat Dewi Sinta yang sedang meminta tolong, Jatayu segera berusaha menyelamatkan menantu temannya itu. Karena Raja Rahwana yang sakti, Jatayu berhasil dikalahkan dengan cara memotong kedua sayapnya menggunakan pedang pusaka. Tubuhnya terhempas jatuh ke tengah hutan.
                        Pangeran Rama yang kebingungan, bersama adiknya ia terus mencari jejak kemana Istrinya itu menghilang. Tidak disangka ia bertemu dengan Jatayu yang sedang sekarat. Jatayu memberitahukan bahwa Dewi Sinta sedang diculik oleh Raja Rahwana dari Negara Alengka. Setelah berucap demikian, Garudha Jatayu meninggal dunia.
                        Hati Pangeran Rama bagai tersambar petir dan amat sangat menderita. Ia terus mengembara mencari jalan menuju Negara Alengka. Hari demi hari, bulan berganti tahun, hingga akhirnya ia bertemu dengan raja kera dari Guwa Kiskendha yang bernama Sugriwa. Setelah mengutarakan maksut hatinya, Raja Sugriwa bersedia untuk menolongnya setelah Pangeran Rama juga bersedia menolongnya untuk mengalahkan musuhnya yang tidaklah lain adalah Resi Subali yaitu kakaknya sendiri yang telah menjadi angkara murka karena kesalah pahaman.
                     Prabu Dasarata
                        Pangeran Rama menyanggupi dan berhasil menumpas Resi Subali. Setelah keadan menjadi tenteram, mulailah Pangeran Rama membahas tentang pencarian dimana letak Negara Alengka. Tersebutlah nama Anoman yang tidaklah lain adalah keponakan dari Raja Sugriwa sendiri. Anoman merupakan kera berbulu putih sang sangat cerdas dan mempunyai kesaktian yang luar biasa. Karena banyak  pertimbangan, akhirnya Anoman ditunjuk sebagai duta untuk pergi ke Alengka yang akhirnya diketahui dimana letaknya yaitu di seberang samudra Hindhi yang luas. Sebelum berangkat, Pangeran Rama memberikan sebuah cicin kepada Anoman untuk diberikan kepada Dewi Sinta sebagai tanda kesetiaannya kepada dirinya.
                        Anoman yang setia, segera terbang menuju Negara Alengka. Ditengah perjalanannya, ia tiba – tiba tertelan oleh pusaran lautan yang dahsyat, yang ternyata itu adalah mulut sesosok rasaksa. Rasaksa penunggu lautan lepas itu bernama Wilkataksini, prajurit dari Raja Rahwana. Pertarungan tidak dapat dihindarkan, hingga Wilkataksini berakhir ditangan Anoman. Perutnya dihancurkan dan Anoman berhasil keluar dari perut Wilkataksini.
                        Perjalanan Anoman amatlah jauh hingga memakan waktu beberapa hari untuk akhirnya sampai di Negri Alengka. Sesampainya disana, Anoman berusaha mencari disegala sudut kerajaan dengan cara mengkecilkan ukuran tubuhnya dengan tujuan agar tidak diketahui keberadaannya oleh prajurit Alengka.
                        Sesampainya di suatu Taman yang bernama Argasoka, ia melihat seorang wanita kurus dibawah pohon Nagasari yang sedang berdoa. Kemudian ia mendekati dan bertanya, siapakah kiranya sang putri tersebut ? lalu wanita itu menceritakan siapa sebenarnya dirinya itu, yang tidaklah lain adalah Dewi Sinta yang telah dua belas tahun terkurung di Taman Argasoka. Mendengar itu, Anoman segera menjelaskan maksut dan tujuannya kepada Dewi Sinta, lalu mehaturkan cincin yang telah dipesankan oleh Pangeran Rama. Kegembiraan tampak pada wajah Dewi Sinta. Lalu Dewi Sinta juga menitipkan sebuah cunduk untuk diberikan kepada pangeran Rama sebagai tanda akan kesucian cintanya.
               Dewi Kekeyi                                          
                        Tidak lama perbincangan itu terjadi, prajurit Alengka mengetahui kalau ada penyusup masuk ke dalam kerajaan. Segenap prajurit bertindak dibawah perintah Pangeran Indrajit, putra mahkota Negara Alengka. Dengan panah rantai pusaka Pangeran Indrajit, akhirnya Anoman dapat diringkus dan dibawa ke hadapan Raja Rahwana.
                        Marah bukan kepalang, melihat perbuatan Anoman. Dengan tidak ada rasa belaskasih, Anoman dibawa ke tengah alun – alun, yang kemudian tubuh Anoman ditimbun oleh kayu kering. Prajurit Alengka diperintahkan untuk segera membakar tubuh Anoman. Api berkobar sangat dahsyat, namun tidak sehelai pun bulu putih milik Anoman yang terbakar. Anoman melompat kesana – kemari hingga ke atap – atap kerajaan hingga membakar semua bangunan yang ada disekitarnya. Setelah puas membakar Negara Alengka, Anomanpun pergi ke Guwa Kiskendha. Melihat kejadian itu, Rahwana semakin murka dan segera ingin menangkap kembali Anoman untuk dibunuhnya.
                        Kedua adik Raja Rahwana yaitu Pangeran Kumbakarna dan Pangeran Wibhisana berusaha mengingatkan tindakan kakanya itu adalah salah. Melanggar norma – norma kebenaran. Mendengar kedua adiknya berusaha menyalahkan dirinya, lalu Pangeran Wibhisana diusir dari kerajaan, sedangkan Pangeran Kumbakarna memilih untuk bertapa tidur di sebuah Goa.
                        Sesampainya di Guwa Kiskendha, Anoman melaporkan semua peristiwa dan menghaturkan Cunduk Dewi Sinta kepada Pangeran Rama. Dengan demikian, Pangeran Rama harus merebut Dewi Sinta dengan cara perwira. Ia memerintahkan kepada semua prajurit kera untuk mengumpulkan kekuatan demi menumpas angkara murka. Dibawah kendali Raja Sugriwa, segenap prajurit kera disiagakan. Untuk menyebrangi Samudra Hindi, Pangeran Rama menghendaki untuk dibuatkan jembatan yang menghubungkan daratan Dhandhaka menuju Negara Alengaka.
                        Niat dari Sri Rama didukung oleh Pangeran Wibhisana yang sejak ia diusir dari kerajan, ia memilih untuk membantu Sri Rama dalam usahanya menegakkan keadilan. Pangeran Wibhisana menjelaskan semua seluk beluk kerajaan Alengka, agar mudah dilalui oleh Sri Rama dan prajurit wanara.
                         Memang pemikiran yang mustahil. Namun berkat tekat dan tujuan utama apapun dapat diwujudkan. Anoman sebagai senapati parajurit, menimbun lautan dengan gunung – gunung besar, sedang prajurit kera yang lain mengumpulkan pohon dan bebatuan untuk dapat dijadikan jembatan bagi Sri Rama. Suatu keajaiban dunia kejadian tersebut. Jembatan sungguh akhirnya dapat terbangun dengan sempurna, yang membentang melitasi samudra Hindia. 
                        Peristiwa itu diketahui oleh Rahwana, geram sekali melihat tindakan Sri Rama bersama prajurit keranya. Dengan tidak sabar, ia pun mengerahkan segenap prajurit raksasa untuk menghadang kedatangan ribuan prajurit kera ke Alengka. Dengan menaiki kereta harimau yang berjumblah sepuluh ekor, membuat semua yang melihat menjadi gentar, serta pedang pusaka yang ada di tangannya, ia sesumbar menantang Sri Rama.
                      Prabu Rahwana
                        Peperangan antara prajurit kera dan raksasa bagai mengguncang dunia karena kedahsyatannya. Banyak prajurit dari kedua belah pihak yang tewas. Sampai pada waktunya, Pangeran Kumbakarna yang berwujud rasaksa besar terbangun dari tidurnya. Ia terbangun ingin membela tanah airnya, bukan untuk membela keangkara murkaan kakaknya Raja Alengka. Untuk menghadapi Pageran Kumbakarna, tidak bisa secara sembarangan. Raja Sugriwa telah mencoba menghadapinya namun gagal. Ia hanya dapat menggigit hidung Kumbakarna hingga putus. Akhirnya Pangeran Lesmana yang meghadapinya. Beberapa anak panah dilepaskan, dapat mengenai kedua bahu dan kedua kaki Pangeran Kumbakarna. Ia terjatuh rebah di medan perang namun belum mati. Ia berguling – guling hingga menewaskan ratusan prajurit kera.  Karena ikut geram, pangeran Lesmana melepaskan anak panah pamungkas dan tepat mengenai jantung Pangeran Kumbakarna sehingga gugur sebagai kusuma bangsa.
                         Raja Rahwana telah banyak kehilangan prajurit hingga saudaranya sendiri. Mulai dari Patih Prahastha, Pageran Kumbakarna, Dewi Surpakenaka, hingga anaknya sendiri Pangeran Indrajid. Tinggalah dia seorang bersama prajurit – prajurit kelas bawah. Ia menarik tali kendali kereta harimunya menuju ke angkasa. Sri Rama pun menaiki kereta kudanya yang ditarik oleh delapan ekor kuda putih menuju angkasa. Dewa – dewa di kayangan memuji keberhasilan Sri Rama dalam memenangkan peperangan, menumpas angkara murka. Bunga – bunga ditaburkan oleh para dewa dari langit sebagai penghormatan kepada Sri Rama.
              Raden Anoman
                        Sang Rahwana mengeluarkan segenap pusakanya kepada Sri Rama, mulai gada, tombak, pedang, hingga cambuk besinya, namun tidak berhasil mengalahkan Sri Rama yang memang adalah Dewa Wishnu. Sri Rama pun mencoba melepaskan anak panahnya menuju kepala Rahwana. Namun apa yang terjadi, setiap kali Rahwana terkena panah, ia mati namun lekas hidup kembali karena mempunyai kesaktian Aji Pancasonya. Akhirnya Pusaka Guhya Wijaya milik Sri Rama berwujud panah akhirnya dikeluarkan. Bersamaan dengan tali busur ditarik, suara gumuruh petir mengikuti seakan memuji keberanian Sri Rama. Melesat cepat panah Guhya Wijaya menuju leher Sang Rahwana atau Dasamuka yang berkepala sepuluh itu, seketika putuslah leher Dasamuka, sirna semua kesaktiannya, ia jatuh terhempas ketanah, bergemuruh suaranya bagai gunung runtuh.  










Bab VI
MAHABARATA


                        Mahabarata merupakan sebuah cerita epos berbentuk prosa berasal dari Tanah Hindustan karangan Empu Wiyasa. Kitab Mahabarata menceritakan tentang perjalanan kisah Kerajaan Hastinapura yang diperebutkan oleh keturunannya sendiri yaitu Pandhawa dan Korawa.
                        Hastinapura adalah sebuah kerajaan besar pada masanya yang menguasai banyak wilayah disekitarnya yang meliputi negara – negara kecil yang  meminta perlindungan secara ekonomi maupun sosial. Pendiri kerajaan Hastinapura adalah Raja Santanu keturunan wangsa Barata, yaitu para resi leluhurnya terdahulu. Kisah yang panjang ini dimulai dari kisah cinta Raja Santanu dengan seorang Dewi penguasa Sungai suci Gangga yaitu Dewi Gangga. Oleh karena dua kodrati yang berbeda, menyebabkan keduanya harus berpisah. Namun hubungan mereka tetap tidak dapat dipisahkan karena ada pengikat bagi cita mereka berupa seorang anak laki – laki yang tampan. Putra itu mereka namakan Bhisma.
                   Prabu Santanu
                        Setelah sekian lama Sentanu hidup bahagia dengan putranya, hingga Bhisma telah beranjak remaja. Ia menjadi kesatriya yang tampan serta cakap dalam segala hal, ilmu keprajuritan hingga ilmu pemerintahan. Suatu ketika, Raja Sentanu sedang berburu disuatu hutan dekat sungai Jamuna. Disela – sela berburu, ia sempatkan untuk beristirahat sejenak. Ketika melihat suasana tepian sungai Jamuna, ada sesuatu yang menarik hatinya untuk tergerak mendekatinya. Sosok itu adalah sebuah perahu kecil yang sedang merapat ditepian sungai. Yang menjadi kejanggalan adalah, dari dalam perahu itu mengeluarkan bau yang sangat harum. Semakin menyengat membuat sang raja semakin penasaran, apakah yang menjadi sumber bau tersebut.
                        Alangkah kagetnya bukan kepalang ketika tirai perahu itu disingkapnya.  Terdapat sosok wanita cantik jelita yang sedang duduk sendirian. Ketika ia ditanya, “siapakah nama mu?”, wanita itu menjawab bahwa ia hanyalah seorang anak tukang perahu dasabala. Semakin penasaran Raja Sentanu karena ada wanita yang cantik jelita yang menjadi tukang perahu. Lalu ia mengajaknya keluar dari perahu dengan maksud ingin lebih mengenal. Lalu sang raja sekali lagi bertanya “siapakah nama mu?”, lalu dengan rendah hati wanita itu menjawab “saya adalah Durgandini yang juga disebut Sayojanagandhi tuan”.
                        Mendengar pengakuan tersebut, sang raja sangat senang dan mulai tumbuh rasa ketertarikannya kepada Durgandini. Seiring berjalannya waktu, perkenalan mereka semakin dalam. Durgandinipun menaruh hati kepada Sentanu. Suatu saat, Raja Sentanu mengutarakan isi hatinya yaitu ingin meminang Dewi Durgandini untuk menjadi istrinya. Berat rasanya Dewi Durgandini untuk menolak pinangan Raja termasyur itu. Namun dalam hatinya, ia ingin hanya menjadi pelengkap hati sang raja. Tetapi ia ingin menjadi yang terpenting dalam hidup sang raja. Maka sebelum ia meneripa pinangan raja Sentanu, dewi Durgandini mengajukan permintaan yang harus dipenuhi sang raja yaitu, jika ingin memperistri dirinya, sang raja harus berjanji bahwa yang kelak akan menjadi penerus tahta kerajaan Astina haruslah keturunan yang lahir dari dirinya.  
                Dewi Durgandini
                        Pembicaraan serius antara Dewi Gurgandini dan Raja Sentanu ternyata didengar oleh Bhisma. Ia tahu betul bahwa semenjak ayahnya berpisah dengan ibunya, ayahandanya itu telah lama meninggalkan senyuman bahagianya. Namun ketika bertemu dengan Dewi Durgandidi, ayahandanya itu kembali mendapatkan kebahagiaanya kembali. Dengan pertimbangan yang matang, juga atas dasar cintanya kepada ayahandanya, bhisma tau betul bahwa berat bagi ayahnya untuk memutuskan pilihan.
                        Akhirnya demi menjaga kebahagiaan ayahnya itu, Bhisma Dewabrata bersumpah dihadapan ayahnya untuk menjadi seorang brahmana yang tidak menikah. Dengan demikian, Bhisma menyerahkan tahta kerajaan Astina kepada keturunan Dewi Durgandini kelak. Mendengar sumpah Bhisma, Raja Sentanu amat terharu dan akhirnya sang raja berjanji untuk memenuhi persyaratan dewi Durgandini.
                        Setelah beberapa tahun, Dewi Durgandini memiliki tiga orang putra mahkota yaitu, Pangeran Citra Gada, Citra Wirya, dan Citra Sena. Besar harapan Dewi durgandini kepada anak – anaknya untuk dapat meneruska tahta kerajaan Astinapura. Selang tidak beberapa lama setelah ketiga pangeran dewasa, Raja Sentanu akhirnya meninggal dunia. Berpijak pada tradisi kuno, pewaris kerajaan adalah putra sulung raja, dan status tersebut dimiliki oleh Pangeran Citra Gada. Setelah penobatan raja, akan tidak lengkap rasanya jika seorang raja tanpa mempunyai seorang istri. Lalu Bhisma pergi mengikuti sayembara di kerajaan Kasi raja Darmahumbara atau Darmawisesa, untuk mendapatkan putri kerajaan yang nantinya akan diberikan kepada ketiga adiknya.
                        Didalam sayembara perang, Bhisma berhasil megalahkan semua kesatriya dari seluruh penjuru Kerajaan. Karena keberhasilannya itu, ia berhak memboyong ketiga putri kerajaan Kasi yang bernama, Dewi Amba, Dewi Ambika, dan Dewi Ambalika. Setelah ketiga putri diboyong oleh Bhisma, ternyata Dewi Amba menaruh hati kepada Bhisma. Karena bhisma telah bersumpah untuk menjalani kehidupan brahmanacari dengan tidak boleh beristri, maka ia menolaknya. Penolakan Bhisma membuat kecewa Dewi Amba yang akhirnya ia bunuh diri demi cintanya kepada Bhisma. Sebelum ia meninggal, Dewi Amba bersumpah, rohnya tidak akan pergi ke nirwana kalau tidak bersamaan dengan kematian Bhisma kelak.
                      Resi Bhisma
                        Bhisma sangat menyayangkan kejadian tersebut. Lalu ia segeralah kembali ke Astinapura untuk menyerahkan putri boyongan kepada adiknya. Dewi Ambika diperistri Raja Citra Gada, dan Ambaliki diperistri Pangeran Citrawirya. Suatu hari, negara Hastinapura diserbu oleh pasukan negara asing yang ingin menguasai kerajaan Hastinapura. Peperangan besar itu menewaskan Raja Hasitapura dan kedua adiknya. Duka yang mendalam bagi keluarga kerajaan karena permaisuri raja dan istri pangeran belum mengandung calon pangeran kerajaan.
                        Situasi sulit sangat dirasakan oleh Dewi Durgandini sebagai ibu suri kerajaan Hastinapura yang besar itu. Disatu pihak ada Bhisma yang sesungguhnya adalah pewaris kerajaan, namun ia telah bersumpah untuk tidak menikah, dan disisi lain, Dewi Durgandini ingin keturunannya saja yang mewarisi kerajaan Hastinapura. Dengan situasi kerajaan yang telah kacau, Bhisma berbicara kepada ibu tirinya itu dengan menangis, apakah ini semua karena dosanya yang telah berani bersumpah untuk tidak nenikah, yang sama halnya ia mementingkan diri sendiri, dengan tidak memikirkan nasip dari kerajaan warisan ayahnya.
                        Lalu Dewi Durgandini juga mengaku kesalahan kepada Bhisma, akan kebohongannya selama ini, yang telah menutupi kebenaran demi ambisinya sendiri untuk menjadi penguasa kerajaan. Dewi Durgandini lalu menceritakan kebenaran dirinya yaitu, sebenarnya ia pernah menikah dengan seorang pertapa yang berhasil menyembuhakan sakitnya waktu itu yang badannya mengeluarkan bau amis. Pertapa itu bernama Resi Palasara dan dari pernikahannya itu telah dikaruniai seorang putra bernama Abyasa.
                        Mendengar pengakuan ibunya itu, Bhisma tidak marah, malah ia memeluk ibunya itu. Bhisma sangat berterimakasih karena pertama, ibunya itu telah membuat bahagia ayahandanya yang sangat ia cintai, dan yang kedua adalah secara tidak langsung ibunya memberi solusi untuk menghilangkan kekacauan di kerajaan Hastinapura. Solusi itu adalah, Bhisma memita kepada ibunya agar Abyasa dinikahkan dengan permaisuri mendiang Raja Citragada dan istri mendiang Pangeran Citrawirya.
                        Alangkah bahagianya Dewi Durgandini mendengar permintaan Bhisma. Lalu segeralah Bhisma diminta untuk membawa Abyasa datang ke Hastinapura untuk menikah dengan Dewi Ambika dan Ambalika demi meneruskan keturunan dinasti kerajaan.
                        Abyasa sendiri adalah seorang hebat tidak berbeda dengan Bhisma dewabrata. Abyasa merupakan putra dari seorang Resi Palasara pertapa sakti dari pertapaan Wukiretawu. Sejak kecil Abyasa telah banyak menghafal wedha dan menguasai berbagai ilmu pengetahuan sehingga menjadikannya seorang Resi Muda yang amat sakti dan bijaksana. Dengan demikian, keturunan Astinapura akan menjadi kesatria – kesatria yang hebat.    
                       Resi Abyasa  
                         Setelah beberapa waktu, akhirnya Dewi Ambika dan Ambalika mengandung dan melahirkan pangeran – pangeran yang tampan. Kelahiran pageran didalam kerajaan membuat semua keluarga menjadi bahagia, namun sekali lagi Hastina mengalami pencobaan dari Dewa. Cucu sulung Dewi Durgandini, Putra Dewi Ambika terlahir dalam keadaan buta, ia diberi nama Destarata. Sedangkan putra Dewi Ambalika terlahir dengan sempurna dan perparas tampan, yang diberi nama Pandhudewanata. Kemudian Dewi Ambalika mengandung kembali dan melahirkan putra lagi, namun terlahir dalam keadaan cacat kaki, yang salah satu dari kakinya mengalami kelainan atau pincang. Pangeran itu diberikan nama Yamawidura.
                        Ditengah kebahagiaan, terselip kegelisahan didalam kehidupan keluarga Hastinapura. Sosok pengganti raja yang seharusnya diterima oleh cucu sulung, namun karena mengalami cacat tubuh, Pangeran Destarata tidak dapat menjadi raja, yang akhirnya menjadi raja Hastinapura adalah Pangeran Pandhudewanata. Meskipun demikian, ketiga pangeran hidup dengan rukun meskipun
masing – masing mempunyai perwatakan yang berbeda – beda. Destarata yang berwatak keras, Pandhu yang sabar, dan Yamawidura yang setia.
                        Waktu pada saatnya membawa ketiga pangeran menjadi dewasa. Dalam tradisi kerajaan yang telah berlangsung, Resi Bhismalah yang mencarikan calon permaisuri dan putri untuk pangeran kerajaan. Namun kali ini, Pangeran Pandhu menolak niatan pamannya itu untuk mencarikan istri untuknya. Ia ingin mengikuti sayembara sendiri, yang diadakan oleh Raja Kunthiboja dari kerajaan Mandura.
                        Kerajaan Mandura mengadakan sayembara perang. Barang siapan yang paling kuat dan dapat mengalahkan pangeran Basudewa putra suluh Raja Kunthiboja, ialah yang akan mendapatkan putri kerajaan Mandura yaitu Dewi Kunthitalibrata. Banyak satriya yang telah berjuang untuk memenangkan sayembara, tetapi pada akhirnya Pangeran Pandhulah yang berhasil dalam kompetisi. Sejak saat itu, Dewi Kunthi menjadi putri boyongan Pangeran Pandhu dan dibawa ke Hastinapura.
                    Narpati Destarata
                        Ketika ditengah perjalanan, kereta Pangeran Pandhu dihadang oleh Pangeran Gendara atau Sakuni dari kerajaan Plasajenar. Maksud dari penghadangan itu adalah, pangeran Sakuni tidak menerima atas keberhasilan Pangeran Pandhu dalam memboyong Dewi Kunthi. Lalu Sakuni menantang untuk mengadu kesaktian dengan taruhan, apabila Pangeran Pandhu kalah, ia harus menyerahkan Dewi Kunthi, dan apa bila Sakuni yang kalah, ia akan memberikan Adiknya yaitu Dewi Gendari untuk mendaji putri boyongan Pangeran Pandhu.
                        Peperangan lalu dilakukan, hingga pada akhirnya Pangeran Pandhulah yang memenangkan pertarungan. Dengan demikian Dewi Gendari menjadi milik Pangeran Pandu, dan Pangeran Sakuni bersumpah untuk menjadi pengikut dan ingin mengabdi kepada Pangeran Pandhu.
                        Pangeran Pandhu lalu meneruskan perjalanan untuk kembali ke Hastinapura. Tidak selang beberapa lama, perjalanannya kembali dihadang oleh Pangeran dari Kerajaan Mandaraka bernama Pangeran Narasoma. Tujuannya sama dengan Pangeran Sakuni yang ingin mendapatkan Dewi Kunthi. Sekali lagi Pandhu ditantang untuk mengadu kesaktian. Pangeran Narasoma menjadikan adik perempuannya sebagai taruhannya. Jika ia kalah, Pangeran Pandhu berhak memperistri adik perempuannya yang bernama Dewi Madrim.
                        Adu kesaktian lalu dimulai, masing masing mempunyai kesaktian yang luar biasa, berbeda dengan Pangeran Sakuni yang hanya mengandalkan keberaniannya saja. Sampai akhirnya, Pangeran Narasoma mengaku kalah dan sangat senang apa bila adik perempuannya dapat menjadi istri dari Pangeran Pandhu. Setelah itu Pandhu pulang dengan penuh kesukacitan karena berhasil membawa Tiga putri boyongan sekaligus.
                        Bhisma amat bahagia melihat keberhasilan putranya itu. Pandhu selain pandai ia juga sangat bijaksana. Ia sangat sayang kepada kakak dan adiknya. Menaruh rasa sayang kepada kakaknya, ia lalu memutuska agar kakaknya yang terlebih dahulu memilih salah satu dari ketiga putri boyongan tersebut untukdiambil menjadi istrinya. Dengan senang hati, Destarata memilih salah satu wanita yang menurutnya cocok untuk menjadi istrinya. Ketika semua sudah diajak berkenalan, akhirnya Pangeran Destarata memilih Dewi Gendari untuk menjadi istrinya.
                        Semua keluarga merasa bahagia akan kejadian itu. Destarata lalu menikahi Dewi Gendari dan Pandhu menikahi Dewi Kunthi dan Dewi Madrim. Kebahagiaan yang diterima dinasti Hastinapura seakan melupakan kesusahan – kesusahan yang pernah dirasakan. Dibalik senyuman lebar Destarata, ternyata ada hati yang terluka penuh darah dan rasa amarah yang amat maha dahsyatnya. Hati yang penuh tangis itu adalah hati Dewi Gendari. Ia sangat tidak terima atas perlakuan Pangeran Pandhu terhadap dirinya. Ia telah menyerahkan jiwa raganya untuk Pandhu, tetapi ia merasa dicampakan dengan diberikannya dia kepada Pangeran Destarata yang buta jauh dari kebahagiaan.
                   Dewi Gendari
                        Sementara itu, Sakuni juga ikut membakar amarah Dewi Gendari atas ketidak adilan yang diterimanya. Semaki dalam rasa amarah dan kebencian Gendari hingga ia bersumpah, segenap keturunannya akan menjadi jalan kematian bagi keturunan Pandhu.
                        Api yang membara dalam sekam tidaklah akan tersembunyi lama. Hari berganti bulan, dan bulan berganti tahun. Akhirnya Dewi Gendari mengandung. Pangeran Destarata amat sukacita dan tidak sabar untuk menyongsong kelahiran putranya kelak. Disisi lain, keluarga Pandhu sedang dirundung masalah besar. Masalah itu datang ketika suatu hari Raja Pandhu sedang berburu, ia dengan tidak sengaja memanah seekor kijang yang sedang berkasih – kasihan dengan betinanya. Ternyata kijang itu merupakan penjelmaan dari seorang resi bernama Kimindama yang sedang bertapa menjadi kijang. Ketidak sengajaan Raja Pandhu membuat Resi Kimindama sebelum meninggal ia mengutuk bahwa Pandhu tidak akan bisa “berhubungan” dengan istrinya.

                        Bagai tersampar halilintar mendengar kutukan Resi Kimindama. Kembali kerajaan Hastinapura dirundung kesusahan. Dengan demikian Raja Pandhu tidak akan memperoleh keturunan, dan calon penerus kerajaan tidak akan didapatkan. Sang Bhisma seperti dicambuk – cambuk hatinya. Ia berseru kepada Dewa, “apa sebenarnya yang terjadi pada Hastinapura?”
                        Mengetahui permasalahan yang dialami suaminya, Dewi Kunthi seperti membuka luka lama juga. Dilema besar yang dialami Dewi Kunthi saat itu. Diantara akan memberi solusi, tetapi solusi itu merupakan luka lama yang apa pada dirinya. Kunthi adalah putri yang teguh dan bijaksana. Tidak mudah permasalahan yang dialaminya, jika orang lain yang menjalani pastilah ia akan terhenti ditengah jalan. Dengan keteguhan hati dan kepercayaan kepada suaminya, ia lalu menceritakan pengalaman masa remajanya kepada Pandhu. Ia mengaku bahwa ia memiliki ilmu mantra yang dapat mendatangkan Dewa menurut yang dikehendakinya.
                          Prabu Pandu
                        Pada masa remajanya itu, ia pernah mencoba ilmu mantra yang dapat mendatangkan dewa, pemberian dari gurunya yaitu Resi Druwasa. Waktu itu ia dengan ceroboh melanggar larangan yang diberikan gurunya agar tidak merapal mantra tersebut di bawah sinar matahari. Karena kecerobohannya, ia melakukan larangan itu dan menyebabkan Dewa Surya datang menemuinya dan memberi anugrah seorang putra yang kemudian dinamakan Suryaputra. Kejadian itu menghebohkan kerajaan Mandura sehingga dianggap aib kerajaan karena pada waktu itu Kunthi belum bersuami. Untuk menjaga ketentraman kerajaan, Raja meminta Resi Druwasa untuk membuat Kunthi tetap suci meskipun setelah melahirkan.
                        Permintaan yang sulit itu, oleh Resi Druwasa dikabulkan. Bayi yang dikandung Kunthi dapat dilahirkan secara gaib melalui telinga Dewi Kunthi. Karena peristiwa itu, anak dewi Kunthi juga disebut sebagai Karna yang artinya telinga karena ia dilahirkan melalui telinga. Setelah anak itu lahir, Raja memutuskan untuk membuang bayi tersebut demi menutupi aib kerajaan. Lalu Karna oleh Dewi Kunthi dihanyutkan di Sungai Gangga yang sampai sekarang tidak diketahui keberadaanya lagi.
                        Mendengar kesaksian Dewi Kunthi, Pandhu lalu mendhekap erat istrinya itu yang begitu berani mempertaruhkan nasibnya demi memecahkan masalah yang menimpa dirinya. Dengan segenap akal budi, Pandhu memaafkan Dewi Kunthi atas ketidak jujuran yang pernah dilakukanya. Lalu Dewi Kunthi menyarankan, dengan ijin dari suaminya, ia akan mendatangakan dewa, dan atas dari kehendak Pandu sendiri, Dewa siapa yang akan didatangkan dan dimintai anugerah.
                        Setelah sepakat, Dewi Kunthi mengucap mantra sakti dan kali ini yang diinginkan Raja Pandu adalah dewa sumber kebijaksanaan, maka yang hadir adalah Dewa Darma. Kehadirannya memberikan agugerah putra yang kelak akan menjadi pribadi yang sabar serta bijak dan dapat membimbing banyak orang menuju ke jalan yang benar. Putra itu kemudian diterimakan kepada Pandhu dan diberi nama Yudhistira. Setelah putra pertama lahir, Pandhu ingin mempunyai putra lagi. Dewi Kunthi mengucap mantra, dan kali ini Pandu ingin anugerah kekuatan yang besar. Seketika itu juga Dewa Bayu datang memberikan anugerah seorang putra yang kemudian dinamakan Bima. Dua putra telah diterima Pandhu dan Kunthi, dan keduanya sangat berbahagia. Setelah melalu suatu perenungan kembali, Pandhu ingin sekali lagi dikaruniai putra. Kali ini anugrah yang diminta adalah anugerah kemenangan.  Maka yang hadir adalah Dewa Indra raja dari segala dewa. Kemudian Dewa Indra memberikan anugerah putra yang kelak menjadi kesatriya yang hebat. Dan anak itu kemudian dinamakan Arjuna.
                    Dewi Kunthi
                        Melihat ayundanya mendapatkan tiga orang putra, Dewi Madrim lalu juga ingin mempunyai putra. Dengan ijin dari Dewi Kunthi sebagai permaisuri raja, lalu Dewi Madrim diajarkan mantra suci yang dimilikinya itu. Ketika Dewi Madrim merapal mantra, Raja Pandu meminta agar diberikan anugerah kesehatan dan kesejahteraan. Dengan demikian permintaan Raja Pandu mendatangkan Dewa kembar yaitu Aswan dan Aswin. Keduanya memberikan anugerah putra laki – laki yang kemudian dinamakan Nakula dan Sadewa. Akhirnya Raja Pandhu mendapatkan putra laki – laki berjumlah lima yang dinamakan satria Pandhawa.
                        Ditempat lain diceritakan, bahwa ketika kelahiran Bima, putra pertama Dewi Gendari pun lahir yaitu Duryudana. Sekilas berikut cerita kelahiran anak – anak Gendari. Waktu itu Dewi Gendari sudah mengandung hingga usia kandhungannya mencapai usia 13 bulan namun belum kunjung lair bayi yang ada di dalam kandungannya. Kepanikan mulai dirasakan diseluruh keluarga kerajaan. Lalu dewi Gendari setiap malam memuja Dewi Durga agar diberi kemudahan dalam melahirkan bayi yang ada didalam kandungannya itu. Suatu malam didekat taman kerajaan, Dewi Gendari mencapai puncak semedinya dan Dewi Durgapun datang menemuinya. Dewi Gendari lalu meminta agar anaknya dapat menjadi penguasa di kerajaan Hastinapura ini. Permintaannya pun dikabulkan. Setelah Dewi Durga kembali, Dewi Gendari lalu melahirkan seonggok gading dengan darah kental sebesar kepala sapi.
                        Kaget bukan kepalang Dewi Gendari melihat apa yang terjadi pada dirinya. Amarah bercampur putus asa karena dirasa kenyataan yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkannya, lalu dewi Gendari membanting onggokan daging tersebut ke tanah hingga terpecah menjadi beberapa bagian kecil berjumlah seratus bagian. Jeritan hati Gendari hingga menyebabkan kedatangan Dewi Durga  kembali yang kemudian memerintahkan kepada Gendari untuk menutup bagian – bagian daging itu dengan daun. Seketika itu juga terjadi keanehan yang tidak masuk akal, potongan – potongan daging tersebut satu persatu berubah menjadi bayi - bayi mungil yang tangisanya memecah keheningan kerajaan. Daging yang paling besar itu adalah Duryudana, lalu Dursasana, Durmagati, Citraksa, Citraksi, Kartamarma, dan yang lainya hingga seratus bersaudara. Daging yang paling kecil menjadi bayi perempuan yang dinamakan Dursilawati. Kesemuanya anak Gendari dinamakan Korawa.                                                                  Pandhawa
                        Inilah awal dari gejolak Hastinapura benar – benar dimulai. Amarah Gendari telah disulut untuk membakar seisi Hastinapura. Sementara itu di keluarga Raja Pandu kebahagiaan tidak berlangsung lama. Pandhu suatu ketika lupa akan kutukan yang diterimanya sehingga ia ingin “berhubungan” dengan istri mudanya yaitu Madrim. Seketika itu juga kutukan Resi Kimindama terjadi. Raja Pandu wafat dan Dewi Marim ikut bakar diri bersamanya. Hujan tangis kembali merundung Hastinapura terlebih Sang Bhisma Dewabrata. Anak yang dikasihinya, yang juga sosok raja bijaksana bagi rakyatnya harus pergi secepat itu. Dengan melihat menantunya, Kunthi menjadi janda dengan kelima anaknya yang masih kecil. Seperti telah kering air matanya, dan tidak sanggup lagi untuk memasahi bumi Hastinapura.
                        Keadaan yang sangat menguntungkan bagi Sakuni ini tidak akan dilewatkan. Dengan kematian Pandu, kerajaan Hastinapura harus segera ada penggantinya, sedangkan putra – putra Pandhu masih dalam keadaan yang masih terlalu kecil. Maka Sakuni dan Gendari mengusulkan
                                                                             Korawa
kepada Bhisma untuk menobatkan Destarata sebagai raja sementra di Hastinapura. Hal itu dilakukan agar mempermudah Korawa dalam memiliki haknya kembali. Dengan tanpa curiga, Bhisma lalu menobatkan Destarata sebagai raja sementara kerajaan Hastinapura.  Tanpa disadari, kebijakan Bhisma itu telah ikut memperkeruh keadaan Hastinapura yang dicintainya. Bhisma berharap cucu – cucunya Pandhawa dan Korawa dapat hidup rukun hingga kelak dapat lebih memasyurkan nama Negeri Hastinapura.
                        Harapan Bhisma yang besar itu, ia wujudkan dengan mendatangkan maha guru bagi Pandhawa dan Korawa untuk mendidiknya menjadi satria – satria yang hebat. Guru itu adalah Maha Resi Drona. Saudara lama Bhisma satu perguruan sewaktu sama – sama menjadi siswa dari resi Rama Bargawa. Drona merupakan guru yang ahli senjata dan siasat perang. Senjata apapun mahir digunakannya. Dari semua siswanya yang paling dikasihi adalah Arjuna yang sangat tangkas dalam menggunakan panah.
                            Patih Sengkuni
                        Ketimpangan demi ketimpangan selalu dialami Korawa. Mereka selalu tertinggal satu langkah dari Pandhawa. Karena itu, Sakuni selalu saja meracuni pikiran Korawa untuk sangat membenci para Pandawa. Siasat Sakuni untuk menyingkirkan Pandhawa sangatlah kejam. Salah satu dari perbuatannya adalah pada peristiwa Balai Sigala – gala. Dimana Pandhawa waktu itu sudah beranjak dewasa, agar mereka tidak meminta hak kekuasaan kerajaan, maka diundanglah Pandhawa pada suatu pertemuan perayaan yang diadakan Korawa disuatu pesanggrahan. Pesanggrahan itu dibuat dengan alasan untuk menghormati para Pandhawa dalam suatu pesta besar yang diadakan Korawa. Ketika Pandhawa telah lelap tertidur, tempat itu dibakar oleh Korawa. Pandhawa dibakar hidup – hidup bersama Dewi Kunthi didalamnya. Untung saja siasat itu diraskan oleh Bhisma dan Yamawidura. Secara diam – diam, Yamawidura membuatkan jalan keluar berupa lorong bawah tanah yang di tempat itu juga diletakan seekor “garangan” dengan tujuan, bilamana ada api, “garangan” tersebut pasti lari menuju tempat yang aman melewati lorong yang telah disediakan. Dengan demikian, diharapkan Pandhawa dapat selamat dari api dengan mengikuti arah “garangan” itu.
                        Karena kejadian itu, Pandhawa harus sengsara di hutan, karena lorong yang dibuat menuju ke tengah hutan belantara. Dengan kejadian ini, disisi lain Pandhawa dapat lepas dari ancaman Korawa, karena telah dipertimbangkan oleh Bhisma secara matang – matang, Pandhawa diberikan sebuah hutan belantara untuk dapat dijadikan kerajaan bagi Pandhawa.
                               Prabu Duryudana
                        Hutan itu bernama Wanamarta. Hutan lebat yang dihuni oleh banyak hewan buas dan rasaksa. Siapaun yang telah masuk kedalam hutan tidak akan dapat keluar dengan selamat. Tetapi dengan tekad yang kuat, para Pandhawa bersatu untuk menaklukan alam liar yang membangunya menjadi sebuah kerajaan yang indah seperti halnya kayangan dewa Indra, yang kemudian kerajaan atas Pandhawa itu dinamakan Indraprastha. Kerajaan yang akhirnya menjadi besar atas kepemimpinan Raja Yudhistira yang arif bijaksana, dapat mensejahterakan rakyat hingga namanya terdengar hingga ke seluruh penjuru dunia.
                        Suatu waktu, Pandhawa mengadakan uparaca syukur atas keberhasilannya dalam membangun negara, serta penobatan Yudhistira sebagai Raja Yang Bijaksana, dengan mendatangkan 100 raja dari segala negara. Acara syukur tersebut bernama Sesaji Rajasoya. Pandhawa pun turut mengundang Duryudana dalam acara tersebut. Karena keheranan melihat kerajaan yang begitu indah, Duryudana sampai mendapat malu karena lantai yang sangat bening, ia tidak dapat membedakan antara mana yang lantai dengan kolam yang berisi air. Karenanya itu ia
sampai tercebur kedalam kolam bersama Sakuni, yang akhirnya ditertawakan oleh seluruh raja yang hadir dalam acara tersebut.
                        Akibat peristiwa itu, bertambah marah dan iri lah Korawa kepada Pandhawa sehingga mencari siasat bagaimana caranya agar Indraprastha menjadi milik Korawa. Kemudian Sakuni menyarankan agar Pandhawa diundang dalam permainan dadu. Undangan ini tidak dapat ditolak oleh Pandhawa karena secara tata tradisi adat kerajaan, undangan dari saudara tua haruslah ditaati. Dan permainan dadu sendiri adalah permainan tradisi kehormatan dalam lingkungan kerajaan. Sakuni telah merencanakan kelicikannya untuk melucuti semua kewibawaan Pandhawa di permainan dadu nanti.
                        Atas undangan Korawa dalam permainan dadu, Pandhawa terpaksa harus memenuhinya. Hadirlan Pandhawa didalam istana Hastinapura yang telah dipersiapakan segala sesuatunya dalam permainan dadu. Mula – mula, Pandhawa yang diwakili oleh Yudhistira dapat memenangkan permainan dadu, karena Sakuni telah merancangnya dengan sedemikian rupa. Satu kali menang hingga hampir berturut – turut Korawa yang diwakili Duryudana menjadi kalah, dan segala taruhannya habis menjadi milik Pandhawa. Pada awalnya yang dipertaruhkan hanyalah hal sepele sebagai penggembira saja. Namun lama kelamaan tanpa sadar, Kerajaan yang harus dipertaruhkan sampai Istri Yudhistira yaitu Drupadi yang menjadi taruhannya.

                        Prabu Sri Bathara Kresna
                        Karena telah terjebak dalam siasat Sakuni, Pandhawa tidak dapat menyudahi permainan dadu itu. Langkah demi langkah, Duryudana menjadi pemenang permainan dadu, sampai akhirnya kerajaan Indraprastha yang dipertaruhkan demi menebus Drupadi yang telah menjadi sitaan Korawa. Miris sekali. Akibat siasat licik Sakuni itu, Pandhawa harus kehilangan Indraprastha dan harus menjalani hukuman pembuangan di Hutan Kamyaka selama 13 tahun, serta pada tahun ke 13 harus bersembunyi dari Korawa, dan apabila diketahui keberadaannya oleh Korawa, maka Pandhawa harus mengulang dari awal tahun lagi. Tidak hanya itu saja, akibat kekalahan Pandhawa, Drupadi dipermalukan oleh Dursasana. Ia akan ditelanjangi di tengah tamu yang hadir waktu itu. Tetapi karena pertolongan Basudewa Krishna, slendang Dewi Drupadi tidak kunjung habis ketika dilucuti Dursasana.
                        Akhirnya Pandhawa menjalani masa pembuangan di hutan selama 13 tahun. Waktu yang begitu lama untuk menjalani kesusahan. Meskipun dengan susah payah, jauh dari kesenangan, Pandhawa bersama Drupadi tetap teguh. Mereka menjadi korban ketidak adilan. Berkat Basudewa Krishna, atas dukungan, petuah – petuah, dapat menumbuhkan semangat para Pandhawa. Basudewa Krishna adalah raja Dwaraka putra dari Raja Basudewa yang merupakan saudara tua dari Dewi Kunthi. Jadi, Krishna adalah saudara sepupu dengan Pandhawa.
                        Setelah tiga belas tahun, Pandhawa harus mengambil semua haknya atas dasar keadilan. Meskipun dirasa berat karena mengingat Korawa adalah saudaranya sendiri satu Kakek, namun jika tetap dibiarkan, berarti Pandhawa menutup mata akan ketidak adilan dan ketidak benaran. Maka menurut Krishna, jalan satu – satunya harus direbut secara kesatria yang berarti perang. Perang suci antara kebaikan melawan kebatilan di medan Kurusetra yang disebut dengan BARATAYUDHA.













   Bab VII       
BENTUK WAYANG
                       
                        Wayang mengalami perjalanan yang amat panjang ditengah masyarakat bahkan dunia. Sejak jaman Pra – Hindhu, kemudian Jaman Wali, Jaman Kraton Surakarta – Yogyakarta, hingga pada era modern ini, bentuk wayang mengalami banyak perubahan yang cukup signifikan mengikuti selera masyarakat (seni). Bentuk wayang yang mula – mula merupakan penggambaran “nenek moyang” (benda hidup/mati) yang digunakan sebagai sarana pemujaan roh leluhur (animisme), lalu berkembang dengan mengambil rupa relief – relief yang ada pada candi, dan setelah pada jaman Wali wayang dirubah bentuknya menjadi tampak samping supaya wujudnya tidak lagi menyerupai manusia, hingga puncak penyempurnaan bentuk yang terjadi pada masa Kraton Surakarta yang disebut dengan “Wayang Purwa”.
                        Bentuk wayang yang sudah populer di masyarakat adalah bentuk dari wayang purwa. Wayang purwa adalah wayang yang merupakan penggambaran tokoh – tokoh dalam cerita Ramayana dan Mahabarata. Disebut dengan “wayang purwa” karena, wayang tersebut merupakan hasil karya yang diciptakan para empu yang tergolong mula – mula/awal. “purwa” dalam bahasa Jawa yang berarti Awal/pertama. Mengapa dinamakan demikian, karena hasil karya seniman yang berupa wayang tidak hanya “wayang purwa” saja, tetapi setelah adanya “wayang purwa”, para empu seniman menciptakan jenis wayang yang lain seperti “wayang madya” yang mengambil cerita dadi kisah setelah Mahabarata yaitu keturunan Pandhawa, Raja Parikesit hingga raja – raja Jawa kuno di jaman sebelum Kerajaan Kediri, seperti halnya kisah “Prabu Angling Darma”.
                        Disebut “wayang madya” karena keberadaan wayang tersebut setelah “wayang purwa” dan sebelum “wayang gedhog”. Dalam Bahasa Jawa, “madya” berarti tengah. Jadi menunjukan posisi keberadaanya dalam sejarah. Untuk selanjutnya akan dibahas tentang “wayang purwa” saja karena dalam bab ini akan membahas secara konkrit bentuk “wayang purwa” gaya Surakarta. Untuk bentuk jenis – jenis wayang yang lain mungkin hanya sebagai pengetahuan tambahan saja seperti: Mayang Madya, Wayang Gedhog, Wayang Purwa gaya Yogyakarta, Wayang Purwa gaya Cirebon, Wayang Purwa gaya Banyumas, Wayang Purwa gaya Jawa Timuran, Wayang Krucil, Wayang Klithik, Wayang Kancil, Wayang Wahyu, Wayang Sahadad, Wayang Suluh, Wayang Beber, dan masih ada beberapa lainnya.   
Wayang Purwa Gagrag Surakarta
                        Wayang Purwa Gagrag Surakarta adalah Jenis Wayang Purwa khas daerah Surakarta. Kata “gagrag” berari gaya atau corak yang menjadi ciri khas. Wayang Purwa Gagrag Surakarta ditengah masyarakat sangat populer dari pada wayang – wayang jenis dan gagrag yang lain.
                        Perkembangan Wayang Purwa Gagrag Surakarta telah merambah keseluruh masyarakat, tidak hanya masyarakat Jawa saja, tetapi hingga masyarakat Nasional hingga Dunia.
                        Wayang Purwa gagrag Surakarta mempunyai bentuk yang proporsional dan “pulasan”/warna, serta “tatahan”/pahatan yang khas, yang menurut masyarakat kebanyakan dikatakan indah. Berikut beberapa contoh bentuk spesifik Wayang Purwa Gagrag Surakarta yang dibandingkan dengan gagrag lain.
NAMA WAYANG
GAGRAG SURAKARTA
GAGRAG YOGYAKARTA
GAGRAG JAWA TIMURAN
Raden Bima Sena, Werku –dara, Bratasena













Prabu Kresna, Narayana, Gowinda














Raden Gathut –kaca, Purbaya, Kaca -negara






















Prabu Baladewa
Bala Rama, Kakra - sana







Bathra Guru, Utipati, Jagad Nata










Bathara Bayu, Maruta














                        Setelah mengetahui perbedaan antara tiga “gagrag” antara Surakarta, Yogyakarta, dan Jawa Timuran, berikut bagian – bagian tubuh gambar wayang gagrag Surakarta.
Muka Wayang


Mata




Hidung
Mulut

Mahkota / “irah – iranhan”



Badan “awak – awakan”      Kaki “sor – soran”
Istilah dalam bagian – bagian wayang
 













      Bab VIII  
PERTUNJUKAN WAYANG KULIT

                        Wayang Kulit pada tahun 2004 telah mendapatkan penghargaan besar dari dunia, yaitu dinobatkannya Wayang Kulit sebagai “Karya Agung Warisan Dunia” yang “Adi Luhung” oleh Unesco (Lembaga Pendidikan dan Kebudayaan) PBB (Perserikatan Bangsa – bangsa) di Paris – Perancis, yang waktu itu diwakili oleh Ki. H. Manteb Soedarsono (Empu Paripurna Pedalangan) dari Surakarta.
                        Penghargaan itu menunjukan bahwa bagaimana keberadaan wayang kulit sangat menjadi perhatian dunia. Wayang kulit dipandang sebagai karya yang luarbiasa, yang keberadaannya sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia.
                        Wayang kulit hingga didalam pertunjukannya, memual segala aspek yang meliputi banyak karya seni yang kompleks hingga nilai – nilai “spiritual” dan filosofi kehidupan. Wayang kulit memuat berbagai karya seni didalamnya yaitu, seni rupa, dan seni pahat. Sedangkan didalam pertunjukannya, wayang kulit mencakup berbagai kekayaan seni yaitu meliputi, seni rupa, seni pahat, seni warna,  seni teater, seni suara, seni musik, seni tari, seni sastra, dan juga memuat nilai – nilai tinggi dalam kehidupan manusia.
-          Aspek seni rupa : Wayang Kulit digambar diatas kulit kerbau atau sapi dengan pola pola tertentu yang menjadi ciri khas tokoh tertentu.   
-          Aspek seni pahat : Wayang kulit yang telah berupa sketsa, kemudian dipahat sesuai dengan bentuk ornamennya.
-          Aspek seni warna “pulasan” : Wayang Kulit yang telah selesai dipahat, barulah diwarnai menurut karakter tokoh.
-          Aspek seni teater : Setiap tokoh wayang mempunyai karakter masing – masing. Dalam pertunjukan, seorang dalang berperan menyajikan setiap tokoh.
-          Aspek seni suara : Dalam pementasan wayang kulit, terdapat olah vokal yang dilakukan oleh dalang maupun oleh swarawati (sinden) dan wiraswara (gerong)
-          Aspek seni musik : Pementasan wayang kulit dalam penyajiannya diiringi oleh seni Karawitan yang menggunakan alat musik gamelan.
-          Aspek seni tari : Wayang kulit disajikan dengan cara digerakkan menurut irama dan tempo yang diiringi oleh musik karawitan.
-          Aspek seni sastra : Pertunjukan wayang kulit, dalam penyajiannya menggunakan bahasa sastra Jawa sebagai bahasa tiap tokoh, dan tembang pada karawitan yang kesemuannya itu merupakan bahasa – bahasa sastra dalam bahasa Jawa.
                Pementasan Wayang kulit menjadi sangat “unik”/”istimewa” karena dalam penyajiannya dilakukan dalam waktu yang relatif lama. Pertunjukan wayang kulit dimulai pukul 21.00 – o7.00 wib (dulu), sekarang pertunjukannya dilakukan pada pukul 21.00 – 04.00 wib.
                Pertunjukan Wayang kulit “tradisi” dalam satu sajian dibagi menjadi tiga bagian yang berurutan berdasarkan “pathet” dalam karawitan yaitu, bagian pathet nem, pathet sanga, dan pathet manyura.
Pathet Nem
                Dalam pathet nem, pertunjukan wayang kulit berisi beberapa adegan yaitu :
1.       Adegan Jejeran : berisi adegan babak unjal, dan jengkaran.
2.       Adegan gapuran
3.       Adegan Kedhatonan
4.       Adegan Paseban Jaba
5.       Adegan Budhalan
6.       Adegan Perang Ampyak
7.       Adegan Jejer Pindho
8.       Adegan Budhalan Sabrang
9.       Adegan Perang Gagal
10.    Adegan Magag
Pathet Sanga
1.       Adegan Pertapan (jejer pertapan)
2.       Adegan Mudhun Gunung
3.       Adegan Alas – alasan
4.       Adegan Prepatan
5.       Adegan Perang Kembang
6.       Adegan Sintren    
Pathet Manyura
1.       Adegan jejer
2.       Adegan Werkudara mlumpat
3.       Adegan jejer pindho
4.       Adegan Perang Brubuh
5.       Adegan Tancep Kayon
                        Satu kesatuan pertunjukan wayang kulit, terdapat dua unsur pendukungnya yaitu : unsur fisik dan non fisik.
-          Unsur fisik yaitu unsur dalam sajian wayang kulit yang berwujud. Unsur tersebut meliputi :
1.       Wayang kulit
2.       Kelir
3.       Gawangan
4.       Blencong
5.       Debog
6.       Tapak dara
7.       Kothak
8.       Keprak
9.       Cempala
10.   Gamelan
11.   Dalang
12.   Sindhen
13.   Gerong
14.   Pengrawit

-          Unsur non fisik meliputi :
1.       Cerita / lakon
2.       Naskah
3.       Suluk
4.       Tembang
5.       Gendhing
Dalam hidup masyarakat Jawa, pertunjukan wayang dipandang sebagai suatu seremoni yang hubunganya dengan spiritual kerohanian. Pada waktu jaman Kraton, pagelaran wayang kulit hanya boleh dinikmati oleh raja dan keluarganya saja. Wayang merupakan suatu sarana hiburan bagi raja serta sebagai cermin dalam mengintropeksi diri dalam menjalankan tugas sebagai manusia yang utuh serta dalam kepemimpinanya dengan memperoleh banyak petuah – petuah yang disampaikan oleh seorang dalang.
Setelah wayang berhasil “menembus dinding kraton”, wayang dapat dinikmati oleh masyarakat, yang pada waktu itu pun hanya kalangan tertentu yang dapat menikmati pagelaran wayang kulit. Kalangan – kalangan tertentu itu adalah keluarga – keluarga ningrat atau kaum priayi yang mengadakan pagelaran wayang kulit didalam rumah joglo pada bagian ruang peringgitan.
Telah dapat kita lihat bagaimana berharganya posisi wayang kulit didalam masyarakat, sehingga tidak sembarang orang yang dapat melihat pertunjukannya. Begitu pula dengan aktor utamanya yaitu sosok Dalang, yang begitu di percaya dalam menyampaikan segala “kebaikan” kepada raja atau keluarga ningrat sebagai sarana hiburan dan konsumsi spirilual jiwanya.
Seiring berubahnya jaman, akhirnya wayang dapat dinikmati oleh segenap masyarakat tanpa membedakan latar belakang statusnya. Dengan demikian, secara tidak disadari, peran masyarakat luas menjadi faktor penting akan kelestarian wayang kulit. Dalam kehidupan masyarakat sekarang, wayang kulit menjadi sarana banyak aspek yang sifatnya umum sebagai hiburan semata maupun adat. Pada aspek umum wayang kulit dipagelarkan biasanya dalam rangka pesta rakyat, politik dalam propagandanya, hari jadi instansi, dll. Sedangkan dalam aspek adat, pagelaran wayang kulit menjadi media sakral dalam upacara tertentu seperti, selamatan desa, sedekah bumi, ruwatan, dan sebagainya. Masyarakat menganggap, belum sempurna segala sesuatu acara tertentu jika belum diadakan pagelaran wayang kulit.
Pada sisi spiritual, wayang dipercayai sebagai media yang sakral dalam menghubungkan antara lahiriah dengan batiniah. Dengan sarana wayang kulit, diyakini dapat menghantar doa – doa manusia untuk disampaikan kepada Tuhan. Lakon wayang, diharapkan serta diyakini akan menjadi nyata dalam kehidupan manusia. Sebagai contoh, untuk acara pernikahan, akan dipergelarkan wayang kulit dengan mengambil lakon “Wahyu Katentreman” atau “lakon Rabine Janaka” yang inti sari dari cerita lakon tersebut mengandung unsur kebaikan dalam berumah tangga. Jika dalam acara khitan atau ulang tahun seseorang, lakon yang diambil adalah “Lakon Laire Gathotkaca” atau “Laire Wisanggeni” yang diharapkan adalah, agar kelak anak yang bersangkutan menjadi anak yang baik seperti Raden Gathutkaca atau akan cerdas seperti Raden Wisanggeni. Lain lagi pada acara adat, biasanya lakon yang diambil adalah lakon – lakon berat yang mengandung sisi spriritual lebih dalam seperti “Lakon Baratayuda”, “Murwakala”, “Dewa Ruci” dll. Wayang dipercayai sebagai penyeimbang antara alam “mikro” (manusia) dengan “makro” (alam semesta).
Pertunjukan wayang kulit telah menjadi salah satu bagian hidup ditengah masyarakat yang tidak dapat ditinggalkan. Meskipun jaman silih berganti namun karena kekuatan wayang yang telah merasuk dalam relung jiwa manusia, dalam bentuk nilai – nilai dan pada unsur yang lain, telah mengambil perhatian pada sikap seseorang. Adat istiadat dan budaya menjadi salah satu tiyang penyangga yang sangat penting dalam kelestarian wayang kulit. Dengan tetap adanya wayang dan pertunjukannya, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa masyarakat tidak meninggalkan akar budaya dan nilai – nilai yang ada.