SENI dan BUDAYA
JAWA
Sebagai
Saka Guru Pembentukan Karakter Bangsa

Oleh :
O. EKO
SAPUTRO, S.Sn

Penerbit
Sanggar Seni
Kridha Manggaa Laras (KML)
KATA PENGANTAR
Rasa Prihatin ketika
melihat dan merasakan fenomena masyarakat dewasa ini. Seperti “kain bathik yang
kehilangan akan coraknya”. Ketika ini benar terjadi, akanlah sangat sulit untuk
mengetahui apalagi menentukan “kain bathik itu bermotif apa ?” jika situasi
demikian kian larut dalam perjalanannya, lalu bagaimana tentang keberadaan
“kain bathik tersebut?”. Padahal kita telah tahu bahwa “kita” memang pada
hakikatnya sebagai “kain bathik” tersebut.
Perumpamaan tadi,
terjadi pada masyarakat Jawa pada umumnya tidak hanya pada generasi muda, namun
juga sampai kepada generasi tua. Seni dan Budaya Jawa merupakan sesuatu yang fundamental
sebagai kepribadian diri yang nantinya menjadi suatu corak dalam kehidupan
seseorang maupun dalam bermasyarakat bahkan pada kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Ada ungkapan Jawa yang
demikian, “ajining dhiri saka lathi, ajining raga saka busana”, yang artinya
adalah, “kehormatan dhiri karena ucapan, dan kehormatan raga atau tubuh karena
pakaian”. Ini sudah jelas kenyataannya, bahwa ketika seseorang tidak mempunyai
lagi ucapan yang baik dan bijak, serta berpenampilan yang tidak pantas,
pastilah ia akan kehilangan harga dirinya.
Budaya adalah ucapan
kita, dan seni adalah pakaian kita. Dengan ditulisnya buku “Seni dan Budaya
Jawa” yang sangat sederhana ini, saya mempunyai harapan sederhana pula, agar
generasi muda sekarang mendapatkan sedikit pengetahuan tentang seni dan budaya
Jawa, yang mudah – mudahan dapat menggugah hati, pikiran, dan jiwa, untuk mau
bersyukur atas anugrah Tuhan yang besar dan mulia ini yaitu telah diberikannya
dalam wujud seni dan budaya.
Saya juga bersyukur
kepada Tuhan, atas diberikannya kesempatan yang begitu berharga, dengan dapat
menulis buku ini meskipun dirasa masih banyak kerukangan disana – sini dalam
penulisannya. Dengan adanya buku ini, saya berharap kepada generasi muda yang
telah mencintai seni dan budaya, dapat untuk lebih mengembangkannya. Sejak dulu
hingga sekarang, tidak pernah berhenti orang luar negri mengagumi bahkan mereka
mencintai dan menjadi pelaku seni didalam masyarakat Jawa. Jika kita sendiri
sebagai yang mempunyai seni dan budaya Jawa ini tidak “ngopeni”, alangkah
sangat tidak bijaksananya.
Akhir kata, marilah kita
bersama – sama menjaga dan melestarikan Seni dan Budaya Jawa yang adi luhung
ini. Tuhan memberkati.
Batu, 18 Juli 2017
O. EKO SAPUTRO, S.Sn
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Bab I KEBUDAYAAN
............................................................................................. 3
Bab II MANUSIA JAWA ......................................................................................... 7
Bab III KITAB PUJANGGA
...................................................................................... 10
Bab IV WAYANG SEBAGAI DASAR FILOSOFI MASYARAKAT .................................. 14
Bab V RAMAYANA
............................................................................................... 20
Bab VI MAHABARATA
........................................................................................... 27
Bab VII BENTUK WAYANG
...................................................................................... 40
Bab VIII PERTUNJUKAN WAYANG KULIT
................................................................. 52
BAB I
KEBUDAYAAN
Pengertian
“Kebudayaan” banyak ragamnya lebih dari 150 definisi. Pegertian kebudayaan
berawal dari kata Yunani “colore”, dalam bahasa Inggris disebut culture yang
berbeda dengan kata civilisation (peradaban). Di beberapa negara Eropa,
peradaban mencakup kebudayaan. Di Jerman istilah “zivilisation” berarti
peradaban lahir, yaitu tata pergaulan yang halus, tehnik dan organisasi
masyarakat yang tinggi derajatnya, sistem hukum yang teratur dengan baik.
Sedangkan kebudayaan merupakan peradaban batin, yaitu kehalusan budi, keluhuran
batiniah, ketinggian ilmu pengetahuan dan kesenian. (Asmoro Achmadi : 9)
Budaya
dalam bahasa Jawa berasal dari kata “budi” dan “daya”. Budi yaitu sikap
kepribadian seseorang yang mewarnai suatu jiwa oleh nurani yang kemudian
menjadi suatu citra bagi seseorang. Sedangkan daya yaitu suatu kekuatan yang
diperoleh dari upaya tertentu untuk memperoleh suatu hasil. Dari serangkaian
pengertian tentang budaya, dapat dipahami bahwa budaya merupakan suatu pola
perilaku seseorang maupun masyarakat dalam kehidupan sehari – hari.
Dengan
pemahaman bahwa masyarakat dunia adalah beraneka keragaman, tentunya dalam
upaya memenuhi kehidupan sosial, mereka menghadapi berbagai gejolak sosial yang
menuntut masyarakat untuk melakukan suatu upaya tertentu untuk memecahkan
berbagai persoalan. Upaya – upaya itulah yang kemudian dianggap berhasil
sehingga dilakukan terus – menerus yang pada akhirnya menjadi kebiasaan
masyarakat yang bercorak khusus yang kemudian sebagai identitasnya.
Dengan
budaya manusia berusaha memahami lingkungannya. Dengan budaya manusia dapat
menguasai, melihat, memahami, mengklasifikasikan gejala yang tampak sekaligus
menentukan strategi terhadap lingkungannya. Masyarakat dalam kehidupan secara
langsung diperhadapkan dengan masalah yaitu alam. Alam merupakan lingkungan
hidup masyarakat yang telah kompleks dengan masalahnya. Dengan adanya
kebudayaan, manusia dapat mempertimbangkan akan keselarasan kehidupan dengan
alam yang disebut mikro kosmos (manusia) dan makro kosmos (alam).
Budaya Jawa
Menurut Karkono, kebudayaan Jawa adalah
pancaran atau pengejawantahan budi manusia Jawa yang mencakup kemauan, cita –
cita, ide maupun semangat dalam mencapai kesejahteraan, keselamatan, lahir dan
batin.
Daerah
asal orang Jawa adalah Pulau Jawa, yaitu suatu pulau yang panjangnya lebih dari
1.200 km, dan lebarnya 500 km. Pulau ini hanya 7 % dari seluruh dataran
Kepulauan Indonesia. Pulau Jawa adalah bagian dari suatu formasi geologi tua
berupa deretan pegunungan yang menyambung dengan deretan Pegunungan Himalaya
dan pegunungan di Asia Tenggara, dari mana arahnya menikung ke arah tenggara
kemudian ke arah timur melalui tepi –tepi daratan Sunda yang merupakan landasan
Kepulauan Indonesia.
Pulau
Jawa merupakan daerah gunung berapi yang memiliki sejumlah besar gunung berapi,
baik yang masih bekerja maupun yang tidak, dengan ketinggian antara 1.500
hingga 3.500 meter diatas permukaan laut. Namun kesuburan tanah Pulau Jawa juga
banyak disebabkan oleh iklimnya. Karena letaknya di antara dua benua, yaitu
Benua Asia dan Australia, maka Kepulauan Indonesia pada umumnya dan Pulau Jawa
pada khususnya mempunyai iklim yang dipengaruhi oleh angin musim. Angin musim,
yang didalam satu musim berhembus dari samudra Hindia, dan dalam musim lain
berhembus dari Benua Australia yang kering.
Orang
Jawa hanya mendiami bagian tengah dan timur dari seluruh Pulau Jawa; sebelah
baratnya (yang hampir seluruhnya merupakan dataran tinggi Priyangan), seperti
kita ketahui adalah daerah Sunda. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa
masyarakat Sunda merupakan jumlah penduduk terbesar nomer dua di Indonesia
setelah Suku Jawa. Hampir seluruh pulau Jawa memang sangat padat penduduknya,
bahkan pulau Madura yang gersang di sebelah timur lautnya berpenduduk lebih
dari 2.000.000 jiwa pada tahun yang sama. Pulau Jawa yang luasnya hanya 7% dari
seluruh wilayah kepulauan Indonesia dan dihuni oleh hampir 60% dari seluruh
penduduk Indonesia, adalah daerah asal kebudayaan Jawa.
Bahasa Jawa
Bahasa
kesusasteraan dan bahasa sehari – hari. Bahasa orang Jawa tergolong sub
keluarga Hesperonesia dari keluarga bahasa Melayo – Polinesia (Murdock 1964 :
222). Bahasa Jawa telah dipelajari dengan seksama oleh sarjana – sarjana
Inggris, Jerman, dan Terutama Belanda, pada umumnya menggunakan metode – metode
filologi, dan bukan metode – metode linguistik. Ia memiliki suatu sejarah
kesusasteraan yang dapat dikembalikan ke abad ke VIII, dan selama itu bahasa
tersebut telah berkembang melalui beberapa fase yang dapat dibeda – bedakan
atas dasar beberapa ciri idiomatik yang khas dan beberapa lingkungan kebudayaan
yang berbeda – beda dari tiap pujangganya (Pigeaude 1967 – 1970 : 1, 11 – 14).
Dengan demikian kecuali bahasa Jawa sehari – hari, masih ada bahasa Jawa
kesusasteraan yang secara kronologi dapat dibagi kedalam enam fase seperti yang
tersebut dibawah ini :
1. Bahasa Jawa Kuno, yang dipakai dalam
prasasti – prasasti Kraton pada jaman antara abad ke – VIII dan ke – X, dipahat
pada batu atau diukir pada perunggu, dengan bahasa yang seperti dipergunakan
dalam karya – karya kesusasteraan kuno abad ke – X hingga ke – XIV.
2. Bahasa Jawa kuno yang dipergunakan dalam
kesusasteraan Jawa – Bali. Kesusasteraan ini ditulis di Bali dan Lombok sejak
abad ke – XIV. Tibanya Islam di Jawa Timur, kebudayaan Hindu – Jawa pindah ke
Bali dimana kebudayaan itu menjadi mantap pada abad ke – XVI. Bahasa
kesusasteraan ini hidup terus sampai abad ke – XX. Tetapi ada perbedaan yang
pokok dengan bahasa yang dipakai sehari – hari di Bali sekarang
3. Bahasa kesusasteraan Islam di Jawa
Timur. Menggantikan kebudayaan Hindu – Jawa di daerah aliran sungai Brantas dan
daerah hilir sungai Bengawan Solo pada abad ke – XVI dan ke – XVII.
4. Bahasa kesusasteraan kebudayaan Islam
Jawa di daerah pesisir. Kebudayaan yang berkembang di pusat – pusat agama di
kota – kota pantai utara Pulau Jawa dalam abad ke – XVII dan ke – XVIII, oleh
orang Jawa sendiri disebut kebudayaan pesisir. Kebudayaan pesisir yang lebih
muda, berpusat di kota Pelabuhan Cirebon. Kebudayaan pesisir timur yang lebih
tua berpusat di kota – kota Demak, Kudus, dan Gersik.
5. Bahasa kesusasteraan di kerajaan
Mataram. Bahasa ini adalah bahasa yang dipakai dalam karya – karya
kesusasteraan karangan para pujangga Kraton Kerajaan Mataram abad ke – XVIII
dan ke – XIX, yang terletak di daerah aliran Sungai Bengawan Solo ditengah
kompleks pegunungan Merapi – Merbabu – Lawu di Jawa Tengah, dimana bertemu juga
lembah Sungai Opak dan Praga.
6. Bahasa Jawa masa kini. Adalah bahasa
yang dipakai dalam percakapan sehari – hari masyarakat Jawa dan dalam buku –
buku serta surat – surat kabar berbahasa Jawa dalam abad ke – XX ini.
(Koentjaraningrat 1982 :18)
Menurut
para ahli epigrafi, tulisan Jawa berasal dari suatu bentuk tulisan Sansekerta
Dewanagari dari India Selatan yang terdapat pada prasasti – prasasti yang
berasal dari Dinasti Palawa yang menguasai daerah – daerah pantai India Selatan
pada abad ke – IV. Tulisan itu dinamakan juga tulisan Palawa. Tulisan Palawa
dapat diperkirakan digunakan di Jawa pada abad ke – IV. Huruf – Huruf Palawa di
Jawa mengalami perubahannya sendiri, sehingga huruf yang digunakan oleh
pujangga – pujangga Jawa Timur dari abad ke – X hingga XI dalam ciptaan –
ciptaan kakawin mereka, sudah mempunyai ciri khas Jawa.
Huruf
jawa yang sudah mengalami banyak perubahan telah mencapai bentuknya yang
sekarang terdapat 20 huruf yaitu :
a n c r k
f t s w l
p d j y v
m g b q z
bhineka
tunggal ika, tan hana darma mangruwa
bi[nktu=glHik,tnHnf/mm=zu]w
Masyarakat
Jawa pada akhirnya menjadi suatu masyarakat yang telah mengenal tulis dan
sastra.
Bab II
MANUSIA JAWA
Masyarakat Jawa berdasarkan letak
geografisnya dibedakan menjadi dua yaitu daerah pesisiran dan kota gedhe termasuk
daerah (pegunungan). Menurut pandangan orang Jawa sendiri, kebudayaannya tidak
merupakan suatu kesatuan yang homogen. Mereka sadar akan adanya suatu
keanekaragaman yang sifatnya regional. Perbedaan itu tampak pada bahasa, logat,
makanan, upacara adat, dan kesenian.
Yang
dimaksud dengan daerah pesisir adalah daerah – daerah yang berada di sisi utara
sepanjang pantai utara Pulau Jawa seperti :
-
Jawa
Barat : Bekasi, Tambun, Cibitung, Cikarang, Karawang, Klari, Kosambi, Dawuan,
Cikampek, Sukamandi, Pamanukana, Kandanghaur, Lohbener, Jatibarang,
Arjawinangun, Palimanan, Weru, Cirebon, Losari
-
Jawa
Tengah : Tanjung, Pejagan, Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang, Waleri,
Kendhal, Semarang, Demak, Trengguli, Kudus, Pati, Rembang, Lasem
-
Jawa
Timur : Tuban, Widang, Babad, Lamongan, Gresik, Surabaya, Waru, Sidoarjo,
Porong, Gempol, Bangil, Pasuruan, Nguling, Probolinggo, Paiton, Besuki,
Panarukan, Situbondo, Bajulmati, Ketapang.
Daerah
– daerah tersebut mempunyai corak kebudayaan yang berhubungan dengan kelautan. Pola
kehidupan yang keras menyebabkan segala pola pemikiran, budaya, bahasa menjadi
lebih lugas, merakyat dan sederhana.
Berbeda
dengan daerah Kraton hingga ke pesisir laut selatan, seperti Surakarta, Yogyakarta,
Madiun, Blitar, Kediri yang dalam tata regional disebut dengan “Negari Gung”.
Tata budaya, bahasa, seni, merupakan akar dari budaya yang berkembang di
masyarakat, menyebabkan pola kehidupan masyakaratnya lebih halus.
Tata
regional yang dimaksut adalah
1. Banten : Banten
2. Sunda :
Jawa Barat
3. Pesisir Kilen : Pantura Jawa Tengah
4. Pesisir Wetan : Pantura Jawa Timur
5. Banyumas : Banyu Mas
6. Bagelen : Selatan Sungai Serayu
7. Nagari Gung : Jawa Tengah
8. Manca nagari : Jawa Timur
9. Madura : Madura
10. Tanah sabrang Wetan : Daerah timur Jawa Timur (selat Bali)
Meskipun
kebudayaan Jawa adalah satu kesatuan, melihat daerah masyarakat yang beraneka
ragam, dengan karakter alam yang berbeda juga, menyebabkan sikap tindakan
masyarakatnya juga berbeda – beda. Akhirnya terbentuklah sistem strata dalam
masyarakat yaitu kaum Priyayi, kaum Kawula Cilik, Kaum Santri, Dan Kaum
Abangan.
Kaum
priyayi adalah masyarakat yang masih kerabat Kraton, atau pun masyarakat yang
berperilaku keningrat – ningratan atas dasar kebudayaan dan pola berfikirnya.
Sedangkan Kaum Kawula Cilik adalah golongan masyarakat menengah kebawah yang
pola berfikir serta kebudayaannya sangat sederhana.
Karena
dalam masyarakat Jawa terdapat pengaruh Agama Islam yang cukup kuat, akhirnya
terbentuklah pula corak golongan masyarakat tersendiri yaitu Kaum Santri yang
pola hidup dan kebudayaannya mengikuti budaya keagamaannya. Sedangkan kaum
Abangan adalah kelompok masyarakat yang memeluk agama Islam, namun tetap
mempertahankan Budaya masyarakatnya yaitu Jawa.
Sikap Masyarakat Jawa
Kraton
merupakan akar budaya dan kiblat dari segala cara pandang masyarakat Jawa, yang
kemudian tampak pada sikap masyarakat yaitu :
-
Sikap
Feodalistik
Feodalisme
merupakan sikap mental terhadap sesama dengan mengadakan sikap khusus, karena
adanya perbedaan pangkat, usia, turunan, kedudukan, dan sebagainya, yang
diimplementasikan kedalam bahasa dan budaya. Sehingga muncul yang disebut
“unggah – ungguh”. Dalam kalangan feodalisme sangat diperhatikan dan
ditradisikan. Tradisi dan budaya feodalisme sampai sekarang sedemikian mengakar
dalam masyarakat Jawa.
-
Sikap
Beragam
Masyarakat
Jawa membangun konsep “kautamaning Urip”. Harus “ajur ajer”, mau bergaul dengan
siapa saja, dan tidak merugikan orang lain. Orang yang mempunyai watak sombong
“unggul – unggulke”, akan cenderung dihindari oleh masyarakat.
-
Sikap
Fatalistik
Arti
Fatalistik adalah pasrah. Orang Jawa beranggapan bahwa hidup ini hanyalah
“mampir ngombe”, sehingga hahal – hal apapun yang ada di dunia ini jangan
sampai menjadi segala –galanya dalam hidup. Jangan sampai hidup yang sementara
ini dibuat susah atau disia – siakan, yang secara bijaksana harus disikapi
dengan “sa-madya”, sewajarnya saja. Ada ungkapan Jawa yang mengatakan
“kridhaning ati tan bisa mbedhah kuthaning pasthi, pambudidayane manungsa ora
bisa ngungkuli garising kawasa”, yang artinya apapun yang diusahakan manusia
tidak akan bisa merubah apa yang telah ditetapkan oleh Tuhan.
-
Sikap
Tepasalira
Tepasalira
adalah suatau sikap dimana kita menempatkan diri pada situasi orang lain.
Dengan sikap demikian akan terhindar dari sikap - sikap semena yang akan banyak
merugikan orang lain. Dengan tepasalira orang dapat mudah memaafkan, tidak gegabah,
adil dan lain sebagainya.
Sebetulnya
masih banyak lagi sikap – sikap dari masyarakat Jawa yang lahir dari proses
pemikiran yang tinggi sehingga tampak terkesan mengadha – ada dan sangat susah
sekali untuk diterapkan. Semua pemikiran masyarakat Jawa yang berakar pada
Kraton sendiri adalah merupakan suatu esensi dari idiologi kebaikan yang semata
– mata untuk mengutamakan kehidupan manusia yang damai dan sejahtera.
Bab III
KITAB PUJANGGA
Masyarakat
Jawa telah terkonsep dengan segala kaidah – kaidah kebenaran demi tertatanya
kehidupan yang mulia, dengan menjadikan segala norma – norma kebaikan itu
menjadi suatu idiologi yang harus dicapai. Tentunya semua itu tidak lepas dari
masalah – masalah sosial yang ada didalam masyarakat itu sendiri. Tidak menutup
kenyataan bahwa setiap manusia pasti mempunyai kecenderungan untuk berbuat
salah.
Pemikiran
Jawa mempunyai impian untuk ingin mencapai tataran kehidupan yang mulia, dalam
bahasa Jawa disebut “gemah ripah loh jinawi, kerta tata raharja”. Masyarakat
intelek sepenuhnya sepakat untuk mewujudkannya dengan upaya “memayu hayuning
jagad, memulya ngarcapada”. Kesemuanya itu adalah cita – cita bersama yang
telah turun - temurun dari nenek moyang hingga saat ini yang belum dapat
tercapai dan akan terus diusahakan sampai kapanpun demi terwujudnya impian
bersamanya itu.
Sejak
jaman pra sejarah, manusia khususnya manusia Jawa telah terlahir dengan rasa
kerinduannya terhadap kehidupan yang mulia. Hingga pada jaman Hindhu – budha
masuk ke wilayah Nusantara, masyarakat Jawa yang telah melahirkan banyak nilai
– nilai dalam kehidupannya mulai mengaltukurasi nilai – nilainya dengan budaya
asing yang masuk.
Jaman
Kerajaan – kerajaan Hindhu Budha hingga Islam telah banyak mewarnai pemikiran
masyarakat Jawa. Banyak pujangga – pujangga yang melahirkan karya sastra demi
masyarakatnya yang mulai larut dengan pemikiran – pemikiran “nyleneh” yang
tidak sesuai dengan konsep budaya Jawa. Para
pujangga Kraton dalam rangka mekritik masyarakat bahkan kepada kaum bangsawan
hingga raja sekalipun, dikemas dengan rapi, diuntai dengan kata – kata indah,
hingga yang tersentuh tidak sakit hatinya namun dapat merasuk hingga hati yang
terdalam.
Seperti
pada jaman Kraton Surakarta Hadiningrat dan Pura Mangku Negara, banyak pujangga
yang melahirkan karya sastra berupa kitab – kitab yang berbertuk prosa hingga
sajak / tembang.
Salah
satu Kitab yang populer hingga sekarang adalah Kitab WEDHATAMA yang diciptakan
di Era Sri Susuhunan Pakubuwono IX di Kasunanan Surakarta Hadiningrat, dan pada
masa Sri Mangkunegara IV di Kamangkunegaran. Karya yang luar biasa itu tidak
diketahui secara jelas siapa pengarangnya. Apakah R. Ng. Ranggawarsita Pujangga
Kraton Surakarta Hadiningrat, ataukah RM. Ng. Wiryokusumo Abdi Dalem Pura Mangkunegaran,
ataukah sang raja sendiri KGPAA. Mangkunegara IV sendiri ?
Kitab
Wedhatama adalah sebuah karya sastra yang terbentuk dari beberapa tembang yaitu Pangkur, Sinom,
Pucung, dan Gambuh, yang berjumlah 72 pupuh tembang. Namun ada versi lain yang
mengatakan bahwa Wedhatama berjumlah 100 bait. Yang 18 bait adalah berbentuk
tembang Kinanthi.
Dari
keempat tembang Pangkur, Sinom, Pucung, dan Gambuh dalam Serat Wedhatama
mempunyai filosofi tersendiri yaitu :
-
Pangkur
sebagai sembah Raga
-
Sinom
sebagai sembah Cipta
-
Pucung
sebagai sembah Jiwa
-
Gambuh
sebagai sembah Rasa
Sembah
raga adalah sembah yang dilakukan oleh raga, sembah cipta adalah sembahnya
angan – angan. Raga dan cipta ini termasuk lahiriah. Sedangkan Sembah jiwa bukanlah
urusan dari lahiriah lagi melainkan batiniah. Tujuan dari jiwa sering lain dari
tujuan cipta dan raga. Jadi usaha jiwa belum tentu disetujui oleh raga dan
cipta. Sebab jiwa ini tujuannya hanyalah kembali kepada Tuhan. Sedangkan raga
juga akan mulih tetapi mulihnya keempat asal yang lain. Demikian si angan –
angan cipta. (Anjarani 1983 : 30)
Berikut
beberapa pupuh tembang dalam Serat Wedhatama.
Tembang Pangkur (14 bait)
1. Mingkar mingkur ing angkara,
Akarana karenan mardi
siwi,
Sinawung resmining
kidung,
Sinuba sinukarta,
Mrih kretarta pakartining
elmu luhung,
Kang tumrap ing tanah
Jawa,
Agama ageming aji. (bait
1)
2.
Uripe
sepisan rusak,
Nora mulur nalare ting saluwir,
Kadi ta guwa kang sirung,
Sinerang ing maruta,
Gumarenggeng anggereng,
Anggung gumrunggung,
Pindha padhane si mudha,
Prandene paksa kumaki. (bait 6)
Tembang Sinom (18 bait)
1.
Nulada
laku utama,
Tumrape wong Tanah Jawi,
Wong Agung ing Ngeksiganda,
Penembahan Senopati,
Kepati amarsudi,
Sudane hawa lan nepsu,
Pinesu tapa brata,
Tanapi ing siyang ratri,
Amemangun karyenak tyasing sasama. (bait 1)
2.
Mangkono
janma utama,
Tuman tumanem ing sepi,
Ing saben rikala mangsa,
Masah amemasuh budi,
Laire anetepi,
Ing reh kasatriyanipun,
Susila anoraga,
Wignya met tyasing sesami,
Yeku aran wong barek berag agama. (bait 17)
Tembang Pucung (15 bait)
1.
Ngelmu
iku,
Kalakone kanthi laku,
Lekase lawan kas,
Tegese kas nyantosani,
Setya budya pangekese dur angkara. (bait 1)
2.
Lila
lamun,
Kelangan nora gegetun,
Trima yen ketaman,
Saserik sameng dumadi,
Tri legawa nalangsa srah ing Bathara. (bait 11)
Tembang Gambuh (25 bait)
1.
Sembah
raga punika,
Pakartine wong amagang laku,
Susucine asarana saking warih,
Kang wus lumrah limang wektu,
Wantu wataking weweton. (bait 2)
2.
Kalamun
durung lugu,
Aja pisan wani ngaku aku,
Antuk siku kang mengkono iku kaki,
Kena uga wenang muluk,
Kalamun wus padha melok. (bait 24) (Anjar Any 1983 : 31 – 45)
Memang
amatlah sulit untuk memahami makna tembang – tembang diatas. Untuk dapat
memahami kita harus menerjemahkan kedalam bahasa yang lebih sederhana atau
kedalam bahasa Indonesia, kemudian kita kupas satu persatu kata, kalimat dan
mencari maknanya, barulah kita dapat menyimpulkan apa sebenarnya pesan yang
ingin disampaikan.
Dengan
demikian telah dapat ditarik kesimpulan bahwa, masyarakat Jawa penuh dengan
pertimbangan etika. Ketika ingin mengingatkan seseorang yang salah pun harus
dengan cara yang hormat dan halus agar tidak menyakiti hatinya.
Bab IV
WAYANG SEBAGAI DASAR FILOSOFI MASYARAKAT
Norma
dan nilai yang tersebar di tengah masyarakat tidak lepas dari filsafat pemikiran
budaya Jawa itu sendiri. Hasil budaya masyarakat Jawa salah satunya adalah
wayang.
Menurut para ahli arkeologi Indonesia, keberadaan bentuk asli wayang
diketahui telah ada sejak jaman kuno sebelum adanya agama Hindu dan Budha
memasuki Nusantara. Wayang merupakan milik bangsa Nusantara asli, keberadannya
berhubungan dengan kepercayaan masyarakat kuno yang disebut animisme.
Menurut kapercayan Animisme roh nenek moyang atau leluhur bisa digunakan untuk
meminta petunjuk atau meminta bantuan dalam mencapai kemuliaan juga dapat diminta
untuk perlindungan dari rasa kesusahan, ataupun kecelakan yang dialami manusia.
Kebalikannya roh itu juga dipercaya yang dapat menyebabkan gangguan atau
kecelakaan manusia. Maka yang demikian itu, bila ada yang ingin untuk meminta bantuan roh para leluhur, lalu
diadakan seperti halnya upacara ritual selamatan, yang dipercaya dapat mengundang
atau mendatangkan para roh leluhur yang telah meninggal untuk dimintai
keselamatan dan kemuliaan manusia. Upacara ritual itu diadakan dengan cara mementaskan
pagelaran wayang.
Kira-kira awal tahun masehi, seperti yang diceritakan oleh para ahli
sejarah, bangsa Hindu yang berasal dari Jazirah India banyak yang datang
menjadi imigran di Indonesia. Setelah sekian lama, mau tidak mau menjadikan pengaruh
kabudayan Hindu-Budha ini akhirnya dapat diterima oleh penduduk asli Indonesia.
Didalam jaman itu, basa Sansekerta telah dipakai oleh kalangan bangsawan
yang selanjutnya mempengaruhi basa asli Jawa lan Bali. Disini kesenian wayang oleh bangsa Hindu dipakai
sebagai wadah pengembangan dan sarana untuk menjelaskan budaya agama Hindu
lewat cerita Mahabharata dan Ramayana. Semakin lama keadaan yang demikian itu selanjutnya
menjadikan tercampurnya dan menyatunya budaya asli bangsa Indonesia dengan budaya
Hindu. Kesenian wayang yang budayanya telah campur menyatu ini, seterusnya
menjadi sebab dari agama hindu sehingga cepat menyebar, meresap dan diterima di
masyarakat Indonesia.
Maka dari itu, didalam cerita wayang banyak tatanan budaya agama Hindu. Menurut
kitab Sastra Centhini disebutkan asal mula kesenian wayang purwo yang
diciptakan oleh Raja Jayabaya dari Kerajaan Kediri. Kira-kira pada abad
10, Raja Jayabaya mencipta dengan membuat penggambaran roh leluhurnya yang lalu
dilukiskan pada daun lontar. Penggambaran tersebut tadi banyak yang diambil
dari lukisan ”relief” crita Ramayana, yang telah ditulis pada candi Penataran
Blitar. Raja Jayabaya kemudian sangat tertarik kepada isi cerita Ramayana
karena dirinya termasuk raja yang meyembah Dewa Wishnu, dan juga sampai
sekarang oleh masyarakat masih dipercaya, bahwa Prabu Jayabaya adalah
panjelmaan dan inkarnasi dari Bethara Wishnu.
Pada jaman sesudahnya, yaitu jaman Jenggala kesenian wayang purwa disempurnakan wujudnya oleh Raja Jenggala
Raden Panji Rawisrengga yang bergelar Sri Suryawisesa. Selanjutnya
menjadi bagus dan lebih indah.
Diceritakan kemudian wayang - wayang yang telah terbentuk tadi lalu dikumpulkan
dan disimpan didalam peti khusus yang berseni indah. Bersamaan dengan itu juga
diciptakan pakem crita wayang purwa yang pagelaranya diadakan setiap ada
upacara-upacara penting didalam istana kerajaan dan juga didalangi sendiri oleh
Sri Suryawisesa.
Sewaktu jaman Majapahit penggambaran kesenian wayang itu semakin lebih
disempurnakan dan menjadi lebih bagus, karena telah ditambahkan pada bagian –
bagian terdahulu yang menjadi kekuranganya, lalu digulung menjadi satu. Wayang yang
wujudnya gulungan tersebut apabila digunakan pagelaran, gulunganya kemudian
dibeber. Jenis wayang yang demikian lalu dinamakan Wayang Beber. Sejak
diketemukannya wayang beber ini, kesenian wayang kemudian dipertontonkan
merambah luar lingkungan keraton, dan sejak itu juga masyarakat diluar keraton
dapat ikut melihat keindahan dari pagelaran kesenian wayang beber.
Selanjutnya mendekati akhir jaman
Majapahit, pengaruh Agama Islam telah mulai berkembang dan tersebar di tanah
Jawa. Oleh para wali, kesenian wayang itu juga dipakai sebagai media yang
effektif untuk menjelaskan ajaran agama Islam. Keadaan yang seperti itu juga
yang akhirnya menjadikan kesenian wayang banyak perubahan pada wujud yang cukup
signifikan, untuk menghilangkan penggambaran manusia yang didalam Agama Islam
diharamakan serta juga untuk menghilangkan
penggambaran yang merupakan pengaruh agama Hindu. Pada jaman itu, perwujudan
wayang mulai dirubah, dibuat dari kulit dan tulang yang wujudnya hanya seperti
simbol-simbol supaya penggambaran manusia menjadi tersamarkan, yang kemudian
hingga sekarang perwujudan wayang hanya seperti dan menjadi rupa simbol-simbol
penggambaran kehidupan manusia.
Setelah banyak mengalami perubahan dan perkembangan, sampailah pada jaman
keemasan pada keberadaan wayang kulit ketika pada jaman Kraton Surakarta.
Setelah kerajaan Mataram Islam pecah menjadi dua yaitu Keraton Surakarta dan
Yogyakarta, wayang kulit mengalami penyempurnaan yang lebih tinggi tatarannya.
Wayang kulit dikemas dalam suatu pertunjukan yang agung.
Didalam pertunjukan wayang didalamnya memuat segenap aspek seni maupun
nilai – nilai filosofi yang terkandung didalamnya. Didalam cerita wayang, nilai
– nilai agama Hindhu dan Islam “dinetralisir” oleh para empu agar keberadaan
wayang menjadi bersifat lebih universal. Nilai – nilai budaya Jawa (Kraton)
mendominasi esensial wayang yang memang sumber ceritanya berasal dari tanah
Hindustan.
Bentuk atau wujud dari nilai – nilai filosofi Jawa yang menjadi esensial
cerita wayang beberapa diantaranya sebagai berikut :
-
Cerita wayang dari India digubah yang kemudian disesuaikan dengan pemikiran
– pemikiran Jawa. Sebagai contoh, gaya komunikasi antar tokoh menjadi
menggunakan bahasa Jawa yang sarat akan unggah – ungguh dan nilai moral budaya
Jawa.
-
Esensial kedewaan Hindu diturunkan dan digantikan akan adanya Tuhan Yang
Maha Kuasa
-
Pertunjukan wayang menggunakan : Kelir, blencong, cempala, keprak, kothak,
dan gamelan
-
Pertunjukan wayang dilakukan oleh dalang yang dibatu oleh waranggana dan
pengrawit
Dengan kemasan yang
demikian tersebut, esensial hindhu maupun Islam telah dapat “tersamarkan” dan
lebih menonjolkan esensi kebudayaan Jawa.
Filosofi pandangan hidup Jawa tampak
pada berbagai bentuk unsur dan karakter wayang, sebagai contoh berikut:
1. Pada wayang gunungan
-
Gunungan merupakan salah satu perwakilan filosofi hidup menurut Jawa yang
tersirat. Menurut pandangan Jawa, kehidupan dibagi menjadi 3 tataran yaitu :
lahir, hidup, dan mati. Konsep pemikiran itu tampak pada lukisan tangga yang
berjumlah tiga tingkatan.
-
Manusia hidup selalu pada dua posisi yang bertentangan
yaitu : baik – buruk, terang – gelap, laki – perempuan, susah – senang dll.
Pemikiran ini tampak pada dua raksasa yang menjaga pintu pendopo yang selalu
megawal manusia dalam kehidupan.
-
Didalam hidup manusia harus dapat mengalahkan sikap
yang buruk agar dapat mencapai jiwa utama. Pemikiran ini tampak pada penggambaran
bantheng yang melawan harimau.
-
Manusia hidup ibarat menanam benih yang diharapkan
dapat tumbuh dan berbuah yang baik. Namun dalam perjalanannya selalu banyak
cobaan dan rintangan seperti congkak, licik, perebutan kekuasaan dsb. Keadaan
ini tampak pada lukisan pohon kehidupan yang dililit ular, dihinggapi merak dan
kera.
-
Pada akhirnya manusia yang lulus pada pencobaan dalam
hidup, akan mencapai kemuliaan hidup. Ini tampak pada bunga yang tumbuh di
puncak pohon kehidupan.
2. Wayang
Werkudara
3. Wayang Gathutkaca
4. Wayang Kresna
-
Sifat Matahari : menerangi segenap alam semesta.
-
Bintang : mempunyai watak sebagai juru penunjuk arah mata angin
-
Rembulan : mempunyai watak memberi rasa tentram
-
Mendung : mempunyai watak pengayom
-
Angin : mempunyai watak menempati segala keadaan
-
Api : mempunyai watak adil tidak membeda – bedakan
-
Bumi : mempunyai watak suka memberi
-
Laut : mempunyai watak ikhlas
5. Karawitan
-
Pathet Enem merupakan gambaran adanya permasalahan
dalam hidup.
-
Pathet Sanga merupakan gambaran adanya pencerahan
untuk menyelesaikan permasalahan.
-
Pathet Manyura merupakan gambaran penyelesaian masalah
Dengan
landasan filsafat, manusia mempunyai cara pandang dalam hidup yang tinggi,
dengan demikian dapat menyelesaikan permasalahan hidup dengan bijaksana. Nilai
akan membentuk moralitas yang luhur. Konsep pemikiran Jawa dapat dijadikan
perisai yang ampuh dalam mengatasi segala gejolak kehidupan yang carut marut.
Bab V
RAMAYANA
Ramayana merupakan cerita berbentuk
prosa karangan Empu Walmiki dari Tanah Hindustan yang masuk ke Nusantara
bersamaan dengan masuknya Agama Hindhu sekitar abad ke V – VII.
Raja
Dasarata sangat berbahagia dengan adanya keempat putranya yang masing – masing
mempunyai kelebihan, juga yang perparas sangat tampan. Terlebih pangeran Rama
yang gemar mempelajari semua ilmu pengetahuan yang bersifat lair maupun
kebatinan. Karena kegigihannya dalam belajar, oleh Ayahandanya, Pangeran Rama
diberikan kepada Resi Wasista dan Wismamitra untuk dididik supaya menjadi
pangeran yang cakap, kelak dapat menggantikan ayahnya menjadi raja di Ayodya.
Prabu Rawa Wijaya
Dalam
perjalanannya, Pangeran Rama selalu diikuti oleh adiknya yang amat setia yaitu
Pangeran Lesmana. Keduanya senang sekali membantu rakyat dan melindungi para
pendeta dari gangguan rasaksa yang selalu mengusik ketentraman para pendeta.
Telah banyak rasaksa yang telah dapat ditumpas, hingga mati oleh panah – panah
kedua pangeran Ayodya.
Suatu
hari, raja Kerajaan Manthili yaitu Raja Janaka mengelar sayembara untuk
mengangkat pusaka kerajaan yang berwujud Busur bernama Gandhiwa. Barang siapa
yang dapat mengangkatnya serta dapat menggunakannya, siapapun itu berhak
pemperistri putri tunggalnya yang bernama Dewi Sinta. Banyak raja yang telah
berkompetisi untuk memperebutkan Dewi Sinta yang memang terkenal akan
kecantikannya, tetapi belum ada satu pun yang berhasil mengangkat pusaka
Gandhiwa. Sampai pada saatnya Pangeran Rama datang untuk mencoba mengikuti
sayembara angkat Gandhiwa. Apa yang dilakukan Pangeran Rama membuat semua raja
tercengang, karena dengan sangat mudah Pusaka Gandhiwa dapat diangkat dan
ditarik hingga patah menjadi dua. Karenanya, Dewi Sinta menjadi istri Pangeran
Rama dan segera diboyong ke negara Ayodya.
Keinginan untuk menobatkan putranya
yaitu Pangeran Barata amat besar. Dewi Kekeyi ingin melihat Pageran Barata yang
duduk di singgasana Kerajaan Ayodya, bukannya Pangeran Rama putra Dewi Sukasalya.
Sebelum acara penobatan, Dewi Kekeyi menemui Raja Dasarata dan menyampaikan
keluh kesahnya, juga mengingatkan janji Raja yang pernah diucapkan dulu. Mendengar
ucapan Dewi Kekeyi, Raja Dasarata kemudian menjadi resah dan gelisah. Dewi
Kekeyi juga meminta agar Pangeran Rama pergi dari kerajaan dan tinggal di hutan
selama 12 tahun, dengan maksud agar tidak mengancam pemerintahan Pangeran
Barata.
Dewi Sinta
Dengan
berat hati Raja Dasarata menyampaikan semua kejadian ini kepada Rama. Mendengar
penjelasan sang ayahanda, Pangeran Rama menerimanya dengan ikhlas. Ia mempunyai
pemikiran, siapa saja yang mejadi raja tidak ada persoalan, apalagi Barata
adalah juga merupakan putra ayahandanya. Untuk permintaan Dewi Kekeyi agar ia
pergi dari kerajaan, juga dapat dilaksanakan. Dalam tekatnya ia harus
menghormati Dewi Kekeyi yang juga merupakan ibunya. Melihat sikap Pangeran Rama
yang demikian, membuat Raja Dasarata lebih amat terpukul, karena anak yang
dikasihinya akan meninggalkan kerajaan demi menjaga kehormatan ayahnya yang
pernah berjanji pada Ibundanya Dewi Kekeyi.
Segeralah
Pangeran Rama pergi meninggalkan kerajaan yang diikuti istri dan adik setianya
yaitu Pageran Lesmana. Kepergian
Pangeran Rama membuat kesediahan disegenap rakyat Ayodya terlebih Raja Dasarata
dan Dewi Sukasalya. Sesampainya di Hutan Dandaka, Pangeran Rama, Dewi Sinta,
dan Pangeran Lesmana menjalani sikap hidup brahmana yang sangat sederhana.
Disisi
lain, peristiwa sayembara angkat Gandhiwa mengusik ketentraman Raja Rahwana
dari Negara Alengka. Waktu itu ia tidak dapat mengangkat Pusaka Negara
Manthili, padahal ia sangat ingin memperistri Dewi Sinta. Ketika mendengar
bahwa Dewi Sinta sedang berada didalam Hutan Dandaka, ia segera pergi bersama
abdi Macira untuk menemukan Dewi Sinta.
Ternyata
Raja Rahwana masih mempunyai tipu daya. Ia mengalihkan perhatian Dewi Sinta
dengan cara menirukan suara Pangeran Rama yang sedang kesakitan didalam hutan.
Mendengar hal itu, Dewi Sinta meminta Pangeran Lesmana untuk segera
menyusulnya. Benar saja, Pangeran Lesmana tidak tinggal diam. Sebelum ia pergi,
ia memagari gubug peristirahatan Kakandanya itu dengan Kalacakra. Pangeran
Lesmana berpesan kepada kakandanya agar tidak sekali – sekali keluar gari garis
pagar yang telah dibuatnya demi menjaga keselamatan Dewi Sinta.
Raden Lesmana
Tindakan
Pangeran Lesmana diawasi oleh Raja Rahwana. Tidak kekurangan akal, ia membuat
tipu daya lagi dengan merubah wujudnya menjadi seorang Brahmana tua yang sedang
kehausan. Dengan tertatih – tatih, ia berjalan mendekati gubug Dewi Sinta dan
berteriak meminta belas kasihan agar diberikan setengguk minuman. Dewi Sinta
yang ingin menolong brahmana itu, kemudian ingat akan pesan adindanya Pangeran Lesmana
agar tidak keluar garis yang telah dibuat.
Brahmana
yang tau akan keragu – raguan Dewi Sinta, ia segera menyumpahi Dewi Sinta, apa
bila ia tidak mau menolong brahmana yang sedang kehausan, ia akan terkena
kutukan dari dewa. Mendengar hal itu Dewi Sinta menjadi runtuh hatinya. Ia
segera keluar dari garis pagar yang melindunginya, untuk memberikan air kepada
brahmana tua penjelmaan Raja Rahwana.
Ketika
Dewi Sinta telah mendekat, brahmana tua lalu merubah wujud aslinya, dan segera
membawa terbang Dewi Sinta pergi menuju Negri Alengka. Ditengah hutan Pangeran
Rama dan Lesmana bertemu dan menjadi kebingungan. Tanggap dengan keanehan itu,
Pangeran Rama segera kembali ke gubug peristirahatan, dan benar istrinya telah
lenyap seperti ditelan bumi.
Di
angkasa, Raja Rahwana yang sedang menggendong Dewi Sinta diketahui oleh seekor
Garudha bernama Jatayu. Jatayu adalah rekan dari Raja Dasarata. Melihat Dewi
Sinta yang sedang meminta tolong, Jatayu segera berusaha menyelamatkan menantu
temannya itu. Karena Raja Rahwana yang sakti, Jatayu berhasil dikalahkan dengan
cara memotong kedua sayapnya menggunakan pedang pusaka. Tubuhnya terhempas
jatuh ke tengah hutan.
Hati
Pangeran Rama bagai tersambar petir dan amat sangat menderita. Ia terus
mengembara mencari jalan menuju Negara Alengka. Hari demi hari, bulan berganti
tahun, hingga akhirnya ia bertemu dengan raja kera dari Guwa Kiskendha yang
bernama Sugriwa. Setelah mengutarakan maksut hatinya, Raja Sugriwa bersedia
untuk menolongnya setelah Pangeran Rama juga bersedia menolongnya untuk
mengalahkan musuhnya yang tidaklah lain adalah Resi Subali yaitu kakaknya
sendiri yang telah menjadi angkara murka karena kesalah pahaman.
Prabu
Dasarata
Pangeran
Rama menyanggupi dan berhasil menumpas Resi Subali. Setelah keadan menjadi
tenteram, mulailah Pangeran Rama membahas tentang pencarian dimana letak Negara
Alengka. Tersebutlah nama Anoman yang tidaklah lain adalah keponakan dari Raja
Sugriwa sendiri. Anoman merupakan kera berbulu putih sang sangat cerdas dan
mempunyai kesaktian yang luar biasa. Karena banyak pertimbangan, akhirnya Anoman
ditunjuk sebagai duta untuk pergi ke Alengka yang akhirnya diketahui dimana
letaknya yaitu di seberang samudra Hindhi yang luas. Sebelum berangkat,
Pangeran Rama memberikan sebuah cicin kepada Anoman untuk diberikan kepada Dewi
Sinta sebagai tanda kesetiaannya kepada dirinya.
Anoman
yang setia, segera terbang menuju Negara Alengka. Ditengah perjalanannya, ia
tiba – tiba tertelan oleh pusaran lautan yang dahsyat, yang ternyata itu adalah
mulut sesosok rasaksa. Rasaksa penunggu lautan lepas itu bernama Wilkataksini,
prajurit dari Raja Rahwana. Pertarungan tidak dapat dihindarkan, hingga
Wilkataksini berakhir ditangan Anoman. Perutnya dihancurkan dan Anoman berhasil
keluar dari perut Wilkataksini.
Sesampainya
di suatu Taman yang bernama Argasoka, ia melihat seorang wanita kurus dibawah
pohon Nagasari yang sedang berdoa. Kemudian ia mendekati dan bertanya, siapakah
kiranya sang putri tersebut ? lalu wanita itu menceritakan siapa sebenarnya
dirinya itu, yang tidaklah lain adalah Dewi Sinta yang telah dua belas tahun
terkurung di Taman Argasoka. Mendengar itu, Anoman segera menjelaskan maksut
dan tujuannya kepada Dewi Sinta, lalu mehaturkan cincin yang telah dipesankan
oleh Pangeran Rama. Kegembiraan tampak pada wajah Dewi Sinta. Lalu Dewi Sinta
juga menitipkan sebuah cunduk untuk diberikan kepada pangeran Rama sebagai
tanda akan kesucian cintanya.
Dewi Kekeyi
Tidak
lama perbincangan itu terjadi, prajurit Alengka mengetahui kalau ada penyusup
masuk ke dalam kerajaan. Segenap prajurit bertindak dibawah perintah Pangeran
Indrajit, putra mahkota Negara Alengka. Dengan panah rantai pusaka Pangeran
Indrajit, akhirnya Anoman dapat diringkus dan dibawa ke hadapan Raja Rahwana.
Marah
bukan kepalang, melihat perbuatan Anoman. Dengan tidak ada rasa belaskasih,
Anoman dibawa ke tengah alun – alun, yang kemudian tubuh Anoman ditimbun oleh
kayu kering. Prajurit Alengka diperintahkan untuk segera membakar tubuh Anoman.
Api berkobar sangat dahsyat, namun tidak sehelai pun bulu putih milik Anoman
yang terbakar. Anoman melompat kesana – kemari hingga ke atap – atap kerajaan
hingga membakar semua bangunan yang ada disekitarnya. Setelah puas membakar
Negara Alengka, Anomanpun pergi ke Guwa Kiskendha. Melihat kejadian itu,
Rahwana semakin murka dan segera ingin menangkap kembali Anoman untuk dibunuhnya.
Kedua
adik Raja Rahwana yaitu Pangeran Kumbakarna dan Pangeran Wibhisana berusaha
mengingatkan tindakan kakanya itu adalah salah. Melanggar norma – norma
kebenaran. Mendengar kedua adiknya berusaha menyalahkan dirinya, lalu Pangeran
Wibhisana diusir dari kerajaan, sedangkan Pangeran Kumbakarna memilih untuk
bertapa tidur di sebuah Goa.
Sesampainya
di Guwa Kiskendha, Anoman melaporkan semua peristiwa dan menghaturkan Cunduk
Dewi Sinta kepada Pangeran Rama. Dengan demikian, Pangeran Rama harus merebut
Dewi Sinta dengan cara perwira. Ia memerintahkan kepada semua prajurit kera
untuk mengumpulkan kekuatan demi menumpas angkara murka. Dibawah kendali Raja
Sugriwa, segenap prajurit kera disiagakan. Untuk menyebrangi Samudra Hindi,
Pangeran Rama menghendaki untuk dibuatkan jembatan yang menghubungkan daratan
Dhandhaka menuju Negara Alengaka.
Memang pemikiran yang mustahil. Namun berkat
tekat dan tujuan utama apapun dapat diwujudkan. Anoman sebagai senapati
parajurit, menimbun lautan dengan gunung – gunung besar, sedang prajurit kera
yang lain mengumpulkan pohon dan bebatuan untuk dapat dijadikan jembatan bagi
Sri Rama. Suatu keajaiban dunia kejadian tersebut. Jembatan sungguh akhirnya
dapat terbangun dengan sempurna, yang membentang melitasi samudra Hindia.
Peristiwa
itu diketahui oleh Rahwana, geram sekali melihat tindakan Sri Rama bersama
prajurit keranya. Dengan tidak sabar, ia pun mengerahkan segenap prajurit
raksasa untuk menghadang kedatangan ribuan prajurit kera ke Alengka. Dengan
menaiki kereta harimau yang berjumblah sepuluh ekor, membuat semua yang melihat
menjadi gentar, serta pedang pusaka yang ada di tangannya, ia sesumbar
menantang Sri Rama.
Prabu Rahwana
Peperangan
antara prajurit kera dan raksasa bagai mengguncang dunia karena kedahsyatannya.
Banyak prajurit dari kedua belah pihak yang tewas. Sampai pada waktunya,
Pangeran Kumbakarna yang berwujud rasaksa besar terbangun dari tidurnya. Ia
terbangun ingin membela tanah airnya, bukan untuk membela keangkara murkaan
kakaknya Raja Alengka. Untuk menghadapi Pageran Kumbakarna, tidak bisa secara
sembarangan. Raja Sugriwa telah mencoba menghadapinya namun gagal. Ia hanya
dapat menggigit hidung Kumbakarna hingga putus. Akhirnya Pangeran Lesmana yang
meghadapinya. Beberapa anak panah dilepaskan, dapat mengenai kedua bahu dan
kedua kaki Pangeran Kumbakarna. Ia terjatuh rebah di medan perang namun belum
mati. Ia berguling – guling hingga menewaskan ratusan prajurit kera. Karena ikut geram, pangeran Lesmana
melepaskan anak panah pamungkas dan tepat mengenai jantung Pangeran Kumbakarna
sehingga gugur sebagai kusuma bangsa.
Raden
Anoman
Sang
Rahwana mengeluarkan segenap pusakanya kepada Sri Rama, mulai gada, tombak,
pedang, hingga cambuk besinya, namun tidak berhasil mengalahkan Sri Rama yang
memang adalah Dewa Wishnu. Sri Rama pun mencoba melepaskan anak panahnya menuju
kepala Rahwana. Namun apa yang terjadi, setiap kali Rahwana terkena panah, ia
mati namun lekas hidup kembali karena mempunyai kesaktian Aji Pancasonya.
Akhirnya Pusaka Guhya Wijaya milik Sri Rama berwujud panah akhirnya
dikeluarkan. Bersamaan dengan tali busur ditarik, suara gumuruh petir mengikuti
seakan memuji keberanian Sri Rama. Melesat cepat panah Guhya Wijaya menuju
leher Sang Rahwana atau Dasamuka yang berkepala sepuluh itu, seketika putuslah
leher Dasamuka, sirna semua kesaktiannya, ia jatuh terhempas ketanah,
bergemuruh suaranya bagai gunung runtuh.
Bab VI
MAHABARATA
Hastinapura
adalah sebuah kerajaan besar pada masanya yang menguasai banyak wilayah
disekitarnya yang meliputi negara – negara kecil yang meminta perlindungan secara ekonomi maupun
sosial. Pendiri kerajaan Hastinapura adalah Raja Santanu keturunan wangsa
Barata, yaitu para resi leluhurnya terdahulu. Kisah yang panjang ini dimulai
dari kisah cinta Raja Santanu dengan seorang Dewi penguasa Sungai suci Gangga
yaitu Dewi Gangga. Oleh karena dua kodrati yang berbeda, menyebabkan keduanya
harus berpisah. Namun hubungan mereka tetap tidak dapat dipisahkan karena ada
pengikat bagi cita mereka berupa seorang anak laki – laki yang tampan. Putra
itu mereka namakan Bhisma.
Prabu Santanu
Setelah
sekian lama Sentanu hidup bahagia dengan putranya, hingga Bhisma telah beranjak
remaja. Ia menjadi kesatriya yang tampan serta cakap dalam segala hal, ilmu keprajuritan
hingga ilmu pemerintahan. Suatu ketika, Raja Sentanu sedang berburu disuatu
hutan dekat sungai Jamuna. Disela – sela berburu, ia sempatkan untuk
beristirahat sejenak. Ketika melihat suasana tepian sungai Jamuna, ada sesuatu
yang menarik hatinya untuk tergerak mendekatinya. Sosok itu adalah sebuah
perahu kecil yang sedang merapat ditepian sungai. Yang menjadi kejanggalan
adalah, dari dalam perahu itu mengeluarkan bau yang sangat harum. Semakin
menyengat membuat sang raja semakin penasaran, apakah yang menjadi sumber bau
tersebut.
Alangkah
kagetnya bukan kepalang ketika tirai perahu itu disingkapnya. Terdapat sosok wanita cantik jelita yang
sedang duduk sendirian. Ketika ia ditanya, “siapakah nama mu?”, wanita itu
menjawab bahwa ia hanyalah seorang anak tukang perahu dasabala. Semakin
penasaran Raja Sentanu karena ada wanita yang cantik jelita yang menjadi tukang
perahu. Lalu ia mengajaknya keluar dari perahu dengan maksud ingin lebih
mengenal. Lalu sang raja sekali lagi bertanya “siapakah nama mu?”, lalu dengan
rendah hati wanita itu menjawab “saya adalah Durgandini yang juga disebut
Sayojanagandhi tuan”.
Dewi Durgandini
Pembicaraan
serius antara Dewi Gurgandini dan Raja Sentanu ternyata didengar oleh Bhisma.
Ia tahu betul bahwa semenjak ayahnya berpisah dengan ibunya, ayahandanya itu
telah lama meninggalkan senyuman bahagianya. Namun ketika bertemu dengan Dewi
Durgandidi, ayahandanya itu kembali mendapatkan kebahagiaanya kembali. Dengan
pertimbangan yang matang, juga atas dasar cintanya kepada ayahandanya, bhisma
tau betul bahwa berat bagi ayahnya untuk memutuskan pilihan.
Akhirnya
demi menjaga kebahagiaan ayahnya itu, Bhisma Dewabrata bersumpah dihadapan
ayahnya untuk menjadi seorang brahmana yang tidak menikah. Dengan demikian,
Bhisma menyerahkan tahta kerajaan Astina kepada keturunan Dewi Durgandini
kelak. Mendengar sumpah Bhisma, Raja Sentanu amat terharu dan akhirnya sang
raja berjanji untuk memenuhi persyaratan dewi Durgandini.
Setelah
beberapa tahun, Dewi Durgandini memiliki tiga orang putra mahkota yaitu,
Pangeran Citra Gada, Citra Wirya, dan Citra Sena. Besar harapan Dewi durgandini
kepada anak – anaknya untuk dapat meneruska tahta kerajaan Astinapura. Selang
tidak beberapa lama setelah ketiga pangeran dewasa, Raja Sentanu akhirnya
meninggal dunia. Berpijak pada tradisi kuno, pewaris kerajaan adalah putra
sulung raja, dan status tersebut dimiliki oleh Pangeran Citra Gada. Setelah
penobatan raja, akan tidak lengkap rasanya jika seorang raja tanpa mempunyai
seorang istri. Lalu
Bhisma pergi
mengikuti sayembara di kerajaan Kasi raja Darmahumbara atau Darmawisesa, untuk
mendapatkan putri kerajaan yang nantinya akan diberikan kepada ketiga adiknya.
Didalam
sayembara perang, Bhisma berhasil megalahkan semua kesatriya dari seluruh
penjuru Kerajaan. Karena keberhasilannya itu, ia berhak memboyong ketiga putri
kerajaan Kasi yang bernama, Dewi Amba, Dewi Ambika, dan Dewi Ambalika. Setelah
ketiga putri diboyong oleh Bhisma, ternyata Dewi Amba menaruh hati kepada
Bhisma. Karena bhisma telah bersumpah untuk menjalani kehidupan brahmanacari
dengan tidak boleh beristri, maka ia menolaknya. Penolakan Bhisma membuat
kecewa Dewi Amba yang akhirnya ia bunuh diri demi cintanya kepada Bhisma. Sebelum
ia meninggal, Dewi Amba bersumpah, rohnya tidak akan pergi ke nirwana kalau
tidak bersamaan dengan kematian Bhisma kelak.
Resi Bhisma
Bhisma
sangat menyayangkan kejadian tersebut. Lalu ia segeralah kembali ke Astinapura
untuk menyerahkan putri boyongan kepada adiknya. Dewi Ambika diperistri Raja
Citra Gada, dan Ambaliki diperistri Pangeran Citrawirya. Suatu hari, negara
Hastinapura diserbu oleh pasukan negara asing yang ingin menguasai kerajaan
Hastinapura. Peperangan besar itu menewaskan Raja Hasitapura dan kedua adiknya.
Duka yang mendalam bagi keluarga kerajaan karena permaisuri raja dan istri
pangeran belum mengandung calon pangeran kerajaan.
Situasi
sulit sangat dirasakan oleh Dewi Durgandini sebagai ibu suri kerajaan Hastinapura
yang besar itu. Disatu pihak ada Bhisma yang sesungguhnya adalah pewaris
kerajaan, namun ia telah bersumpah untuk tidak menikah, dan disisi lain, Dewi
Durgandini ingin keturunannya saja yang mewarisi kerajaan Hastinapura. Dengan
situasi kerajaan yang telah kacau, Bhisma berbicara kepada ibu tirinya itu
dengan menangis, apakah ini semua karena dosanya yang telah berani bersumpah
untuk tidak nenikah, yang sama halnya ia mementingkan diri sendiri, dengan
tidak memikirkan nasip dari kerajaan warisan ayahnya.
Lalu
Dewi Durgandini juga mengaku kesalahan kepada Bhisma, akan kebohongannya selama
ini, yang telah menutupi kebenaran demi ambisinya sendiri untuk menjadi
penguasa kerajaan. Dewi Durgandini lalu menceritakan kebenaran dirinya yaitu,
sebenarnya ia pernah menikah dengan seorang pertapa yang berhasil menyembuhakan
sakitnya waktu itu yang badannya mengeluarkan bau amis. Pertapa itu bernama
Resi Palasara dan dari pernikahannya itu telah dikaruniai seorang putra bernama
Abyasa.
Alangkah
bahagianya Dewi Durgandini mendengar permintaan Bhisma. Lalu segeralah Bhisma
diminta untuk membawa Abyasa datang ke Hastinapura untuk menikah dengan Dewi
Ambika dan Ambalika demi meneruskan keturunan dinasti kerajaan.
Abyasa
sendiri adalah seorang hebat tidak berbeda dengan Bhisma dewabrata. Abyasa
merupakan putra dari seorang Resi Palasara pertapa sakti dari pertapaan
Wukiretawu. Sejak kecil Abyasa telah banyak menghafal wedha dan menguasai
berbagai ilmu pengetahuan sehingga menjadikannya seorang Resi Muda yang amat
sakti dan bijaksana. Dengan demikian, keturunan Astinapura akan menjadi
kesatria – kesatria yang hebat.
Resi Abyasa
Setelah beberapa waktu, akhirnya Dewi Ambika
dan Ambalika mengandung dan melahirkan pangeran – pangeran yang tampan.
Kelahiran pageran didalam kerajaan membuat semua keluarga menjadi bahagia,
namun sekali lagi Hastina mengalami pencobaan dari Dewa. Cucu sulung Dewi
Durgandini, Putra Dewi Ambika terlahir dalam keadaan buta, ia diberi nama
Destarata. Sedangkan putra Dewi Ambalika terlahir dengan sempurna dan perparas
tampan, yang diberi nama Pandhudewanata. Kemudian Dewi Ambalika mengandung
kembali dan melahirkan putra lagi, namun terlahir dalam keadaan cacat kaki,
yang salah satu dari kakinya mengalami kelainan atau pincang. Pangeran itu
diberikan nama Yamawidura.
Ditengah
kebahagiaan, terselip kegelisahan didalam kehidupan keluarga Hastinapura. Sosok
pengganti raja yang seharusnya diterima oleh cucu sulung, namun karena
mengalami cacat tubuh, Pangeran Destarata tidak dapat menjadi raja, yang
akhirnya menjadi raja Hastinapura adalah Pangeran Pandhudewanata. Meskipun
demikian, ketiga pangeran hidup dengan rukun meskipun
masing – masing mempunyai perwatakan
yang berbeda – beda. Destarata yang berwatak keras, Pandhu yang sabar, dan
Yamawidura yang setia.
Kerajaan
Mandura mengadakan sayembara perang. Barang siapan yang paling kuat dan dapat
mengalahkan pangeran Basudewa putra suluh Raja Kunthiboja, ialah yang akan
mendapatkan putri kerajaan Mandura yaitu Dewi Kunthitalibrata. Banyak satriya
yang telah berjuang untuk memenangkan sayembara, tetapi pada akhirnya Pangeran
Pandhulah yang berhasil dalam kompetisi. Sejak saat itu, Dewi Kunthi menjadi
putri boyongan Pangeran Pandhu dan dibawa ke Hastinapura.
Narpati
Destarata
Ketika
ditengah perjalanan, kereta Pangeran Pandhu dihadang oleh Pangeran Gendara atau
Sakuni dari kerajaan Plasajenar. Maksud dari penghadangan itu adalah, pangeran
Sakuni tidak menerima atas keberhasilan Pangeran Pandhu dalam memboyong Dewi
Kunthi. Lalu Sakuni menantang untuk mengadu kesaktian dengan taruhan, apabila
Pangeran Pandhu kalah, ia harus menyerahkan Dewi Kunthi, dan apa bila Sakuni
yang kalah, ia akan memberikan Adiknya yaitu Dewi Gendari untuk mendaji putri
boyongan Pangeran Pandhu.
Peperangan
lalu dilakukan, hingga pada akhirnya Pangeran Pandhulah yang memenangkan
pertarungan. Dengan demikian Dewi Gendari menjadi milik Pangeran Pandu, dan
Pangeran Sakuni bersumpah untuk menjadi pengikut dan ingin mengabdi kepada Pangeran
Pandhu.
Pangeran
Pandhu lalu meneruskan perjalanan untuk kembali ke Hastinapura. Tidak selang
beberapa lama, perjalanannya kembali dihadang oleh Pangeran dari Kerajaan
Mandaraka bernama Pangeran Narasoma. Tujuannya sama dengan Pangeran Sakuni yang
ingin mendapatkan Dewi Kunthi. Sekali lagi Pandhu ditantang untuk mengadu
kesaktian. Pangeran Narasoma menjadikan adik perempuannya sebagai taruhannya.
Jika ia kalah, Pangeran Pandhu berhak memperistri adik perempuannya yang
bernama Dewi Madrim.
Adu
kesaktian lalu dimulai, masing masing mempunyai kesaktian yang luar biasa,
berbeda dengan Pangeran Sakuni yang hanya mengandalkan keberaniannya saja.
Sampai akhirnya, Pangeran Narasoma mengaku kalah dan sangat senang apa bila
adik perempuannya dapat menjadi istri dari Pangeran Pandhu. Setelah itu Pandhu
pulang dengan penuh kesukacitan karena berhasil membawa Tiga putri boyongan
sekaligus.
Semua
keluarga merasa bahagia akan kejadian itu. Destarata lalu menikahi Dewi Gendari
dan Pandhu menikahi Dewi Kunthi dan Dewi Madrim. Kebahagiaan yang diterima
dinasti Hastinapura seakan melupakan kesusahan – kesusahan yang pernah
dirasakan. Dibalik senyuman lebar Destarata, ternyata ada hati yang terluka
penuh darah dan rasa amarah yang amat maha dahsyatnya. Hati yang penuh tangis
itu adalah hati Dewi Gendari. Ia sangat tidak terima atas perlakuan Pangeran
Pandhu terhadap dirinya. Ia telah menyerahkan jiwa raganya untuk Pandhu, tetapi
ia merasa dicampakan dengan diberikannya dia kepada Pangeran Destarata yang
buta jauh dari kebahagiaan.
Dewi Gendari
Sementara
itu, Sakuni juga ikut membakar amarah Dewi Gendari atas ketidak adilan yang
diterimanya. Semaki dalam rasa amarah dan kebencian Gendari hingga ia
bersumpah, segenap keturunannya akan menjadi jalan kematian bagi keturunan
Pandhu.
Api
yang membara dalam sekam tidaklah akan tersembunyi lama. Hari berganti bulan,
dan bulan berganti tahun. Akhirnya Dewi Gendari mengandung. Pangeran Destarata
amat sukacita dan tidak sabar untuk menyongsong kelahiran putranya kelak. Disisi
lain, keluarga Pandhu sedang dirundung masalah besar. Masalah itu datang ketika
suatu hari Raja Pandhu sedang berburu, ia dengan tidak sengaja memanah seekor
kijang yang sedang berkasih – kasihan dengan betinanya. Ternyata kijang itu
merupakan penjelmaan dari seorang resi bernama Kimindama yang sedang bertapa
menjadi kijang. Ketidak sengajaan Raja Pandhu membuat Resi Kimindama sebelum
meninggal ia mengutuk bahwa Pandhu tidak akan bisa “berhubungan” dengan
istrinya.
Mengetahui
permasalahan yang dialami suaminya, Dewi Kunthi seperti membuka luka lama juga.
Dilema besar yang dialami Dewi Kunthi saat itu. Diantara akan memberi solusi,
tetapi solusi itu merupakan luka lama yang apa pada dirinya. Kunthi adalah
putri yang teguh dan bijaksana. Tidak mudah permasalahan yang dialaminya, jika
orang lain yang menjalani pastilah ia akan terhenti ditengah jalan. Dengan
keteguhan hati dan kepercayaan kepada suaminya, ia lalu menceritakan pengalaman
masa remajanya kepada Pandhu. Ia mengaku bahwa ia memiliki ilmu mantra yang
dapat mendatangkan Dewa menurut yang dikehendakinya.
Prabu Pandu
Pada
masa remajanya itu, ia pernah mencoba ilmu mantra yang dapat mendatangkan dewa,
pemberian dari gurunya yaitu Resi Druwasa. Waktu itu ia dengan ceroboh
melanggar larangan yang diberikan gurunya agar tidak merapal mantra tersebut di
bawah sinar matahari. Karena kecerobohannya, ia melakukan larangan itu dan
menyebabkan Dewa Surya datang menemuinya dan memberi anugrah seorang putra yang
kemudian dinamakan Suryaputra. Kejadian itu menghebohkan kerajaan Mandura
sehingga dianggap aib kerajaan karena pada waktu itu Kunthi belum bersuami.
Untuk menjaga ketentraman kerajaan, Raja meminta Resi Druwasa untuk membuat
Kunthi tetap suci meskipun setelah melahirkan.
Permintaan
yang sulit itu, oleh Resi Druwasa dikabulkan. Bayi yang dikandung Kunthi dapat
dilahirkan secara gaib melalui telinga Dewi Kunthi. Karena peristiwa itu, anak
dewi Kunthi juga disebut sebagai Karna yang artinya telinga karena ia
dilahirkan melalui telinga. Setelah anak itu lahir, Raja memutuskan untuk
membuang bayi tersebut demi menutupi aib kerajaan. Lalu Karna oleh Dewi Kunthi
dihanyutkan di Sungai Gangga yang sampai sekarang tidak diketahui keberadaanya
lagi.
Mendengar
kesaksian Dewi Kunthi, Pandhu lalu mendhekap erat istrinya itu yang begitu
berani mempertaruhkan nasibnya demi memecahkan masalah yang menimpa dirinya.
Dengan segenap akal budi, Pandhu memaafkan Dewi Kunthi atas ketidak jujuran
yang pernah dilakukanya. Lalu Dewi Kunthi menyarankan, dengan ijin dari
suaminya, ia akan mendatangakan dewa, dan atas dari kehendak Pandu sendiri,
Dewa siapa yang akan didatangkan dan dimintai anugerah.
Dewi Kunthi
Melihat
ayundanya mendapatkan tiga orang putra, Dewi Madrim lalu juga ingin mempunyai
putra. Dengan ijin dari Dewi Kunthi sebagai permaisuri raja, lalu Dewi Madrim
diajarkan mantra suci yang dimilikinya itu. Ketika Dewi Madrim merapal mantra,
Raja Pandu meminta agar diberikan anugerah kesehatan dan kesejahteraan. Dengan
demikian permintaan Raja Pandu mendatangkan Dewa kembar yaitu Aswan dan Aswin.
Keduanya memberikan anugerah putra laki – laki yang kemudian dinamakan Nakula
dan Sadewa. Akhirnya Raja Pandhu mendapatkan putra laki – laki berjumlah lima
yang dinamakan satria Pandhawa.
Ditempat
lain diceritakan, bahwa ketika kelahiran Bima, putra pertama Dewi Gendari pun
lahir yaitu Duryudana. Sekilas berikut cerita kelahiran anak – anak Gendari.
Waktu itu Dewi Gendari sudah mengandung hingga usia kandhungannya mencapai usia
13 bulan namun belum kunjung lair bayi yang ada di dalam kandungannya.
Kepanikan mulai dirasakan diseluruh keluarga kerajaan. Lalu dewi Gendari setiap
malam memuja Dewi Durga agar diberi kemudahan dalam melahirkan bayi yang ada
didalam kandungannya itu. Suatu malam didekat taman kerajaan, Dewi Gendari
mencapai puncak semedinya dan Dewi Durgapun datang menemuinya. Dewi Gendari
lalu meminta agar anaknya dapat menjadi penguasa di kerajaan Hastinapura ini.
Permintaannya pun dikabulkan. Setelah Dewi Durga kembali, Dewi Gendari lalu
melahirkan seonggok gading dengan darah kental sebesar kepala sapi.
Inilah
awal dari gejolak Hastinapura benar – benar dimulai. Amarah Gendari telah
disulut untuk membakar seisi Hastinapura. Sementara itu di keluarga Raja Pandu
kebahagiaan tidak berlangsung lama. Pandhu suatu ketika lupa akan kutukan yang
diterimanya sehingga ia ingin “berhubungan” dengan istri mudanya yaitu Madrim.
Seketika itu juga kutukan Resi Kimindama terjadi. Raja Pandu wafat dan Dewi
Marim ikut bakar diri bersamanya. Hujan tangis kembali merundung Hastinapura
terlebih Sang Bhisma Dewabrata. Anak yang dikasihinya, yang juga sosok raja
bijaksana bagi rakyatnya harus pergi secepat itu. Dengan melihat menantunya,
Kunthi menjadi janda dengan kelima anaknya yang masih kecil. Seperti telah
kering air matanya, dan tidak sanggup lagi untuk memasahi bumi Hastinapura.
Keadaan
yang sangat menguntungkan bagi Sakuni ini tidak akan dilewatkan. Dengan
kematian Pandu, kerajaan Hastinapura harus segera ada penggantinya, sedangkan
putra – putra Pandhu masih dalam keadaan yang masih terlalu kecil. Maka Sakuni
dan Gendari mengusulkan
Korawa
Harapan
Bhisma yang besar itu, ia wujudkan dengan mendatangkan maha guru bagi Pandhawa
dan Korawa untuk mendidiknya menjadi satria – satria yang hebat. Guru itu
adalah Maha Resi Drona. Saudara lama Bhisma satu perguruan sewaktu sama – sama
menjadi siswa dari resi Rama Bargawa. Drona merupakan guru yang ahli senjata
dan siasat perang. Senjata apapun mahir digunakannya. Dari semua siswanya yang
paling dikasihi adalah Arjuna yang sangat tangkas dalam menggunakan panah.
Patih
Sengkuni
Ketimpangan
demi ketimpangan selalu dialami Korawa. Mereka selalu tertinggal satu langkah
dari Pandhawa. Karena itu, Sakuni selalu saja meracuni pikiran Korawa untuk sangat
membenci para Pandawa. Siasat Sakuni untuk menyingkirkan Pandhawa sangatlah
kejam. Salah satu dari perbuatannya adalah pada peristiwa Balai Sigala – gala.
Dimana Pandhawa waktu itu sudah beranjak dewasa, agar mereka tidak meminta hak
kekuasaan kerajaan, maka diundanglah Pandhawa pada suatu pertemuan perayaan
yang diadakan Korawa disuatu pesanggrahan. Pesanggrahan itu dibuat dengan
alasan untuk menghormati para Pandhawa dalam suatu pesta besar yang diadakan
Korawa. Ketika Pandhawa telah lelap tertidur, tempat itu dibakar oleh Korawa.
Pandhawa dibakar
hidup – hidup bersama
Dewi Kunthi didalamnya. Untung saja siasat itu diraskan oleh Bhisma dan
Yamawidura. Secara diam – diam, Yamawidura membuatkan jalan keluar berupa
lorong bawah tanah yang di tempat itu juga diletakan seekor “garangan” dengan
tujuan, bilamana ada api, “garangan” tersebut pasti lari menuju tempat yang
aman melewati lorong yang telah disediakan. Dengan demikian, diharapkan
Pandhawa dapat selamat dari api dengan mengikuti arah “garangan” itu.
Karena
kejadian itu, Pandhawa harus sengsara di hutan, karena lorong yang dibuat
menuju ke tengah hutan belantara. Dengan kejadian ini, disisi lain Pandhawa
dapat lepas dari ancaman Korawa, karena telah dipertimbangkan oleh Bhisma
secara matang – matang, Pandhawa diberikan sebuah hutan belantara untuk dapat
dijadikan kerajaan bagi Pandhawa.
Prabu
Duryudana
Hutan
itu bernama Wanamarta. Hutan lebat yang dihuni oleh banyak hewan buas dan
rasaksa. Siapaun yang telah masuk kedalam hutan tidak akan dapat keluar dengan
selamat. Tetapi dengan tekad yang kuat, para Pandhawa bersatu untuk menaklukan
alam liar yang membangunya menjadi sebuah kerajaan yang indah seperti halnya
kayangan dewa Indra, yang kemudian kerajaan atas Pandhawa itu dinamakan
Indraprastha. Kerajaan yang akhirnya menjadi besar atas kepemimpinan Raja
Yudhistira yang arif bijaksana, dapat mensejahterakan rakyat hingga namanya
terdengar hingga ke seluruh penjuru dunia.
Suatu
waktu, Pandhawa mengadakan uparaca syukur atas keberhasilannya dalam membangun
negara, serta penobatan Yudhistira sebagai Raja Yang Bijaksana, dengan
mendatangkan 100 raja dari segala negara. Acara syukur tersebut bernama Sesaji
Rajasoya. Pandhawa pun turut mengundang Duryudana dalam acara tersebut. Karena
keheranan melihat kerajaan yang begitu indah, Duryudana sampai mendapat malu
karena lantai yang sangat bening, ia tidak dapat membedakan antara mana yang
lantai dengan kolam yang berisi air. Karenanya itu ia
sampai tercebur kedalam kolam bersama
Sakuni, yang akhirnya ditertawakan oleh seluruh raja yang hadir dalam acara
tersebut.
Atas
undangan Korawa dalam permainan dadu, Pandhawa terpaksa harus memenuhinya.
Hadirlan Pandhawa didalam istana Hastinapura yang telah dipersiapakan segala
sesuatunya dalam permainan dadu. Mula – mula, Pandhawa yang diwakili oleh
Yudhistira dapat memenangkan permainan dadu, karena Sakuni telah merancangnya
dengan sedemikian rupa. Satu kali menang hingga hampir berturut – turut Korawa
yang diwakili Duryudana menjadi kalah, dan segala taruhannya habis menjadi
milik Pandhawa. Pada awalnya yang dipertaruhkan hanyalah hal sepele sebagai
penggembira saja. Namun lama kelamaan tanpa sadar, Kerajaan yang harus
dipertaruhkan sampai Istri Yudhistira yaitu Drupadi yang menjadi taruhannya.
Prabu Sri
Bathara Kresna
Karena
telah terjebak dalam siasat Sakuni, Pandhawa tidak dapat menyudahi permainan
dadu itu. Langkah demi langkah, Duryudana menjadi pemenang permainan dadu,
sampai akhirnya kerajaan Indraprastha yang dipertaruhkan demi menebus Drupadi
yang telah menjadi sitaan Korawa. Miris sekali. Akibat siasat licik Sakuni itu,
Pandhawa harus kehilangan Indraprastha dan harus menjalani hukuman pembuangan
di Hutan Kamyaka selama 13 tahun, serta pada tahun ke 13 harus bersembunyi dari
Korawa, dan apabila diketahui keberadaannya oleh Korawa, maka Pandhawa harus
mengulang dari awal tahun lagi. Tidak hanya itu saja, akibat kekalahan
Pandhawa, Drupadi dipermalukan oleh Dursasana. Ia akan ditelanjangi di tengah
tamu yang hadir waktu itu. Tetapi karena pertolongan Basudewa Krishna, slendang
Dewi Drupadi tidak kunjung habis ketika dilucuti Dursasana.
Akhirnya
Pandhawa menjalani masa pembuangan di hutan selama 13 tahun. Waktu yang begitu
lama untuk menjalani kesusahan. Meskipun dengan susah payah, jauh dari
kesenangan, Pandhawa bersama Drupadi tetap teguh. Mereka menjadi korban ketidak
adilan. Berkat Basudewa Krishna, atas dukungan, petuah – petuah, dapat
menumbuhkan semangat para Pandhawa. Basudewa Krishna adalah raja Dwaraka putra
dari Raja Basudewa yang merupakan saudara tua dari Dewi Kunthi. Jadi, Krishna
adalah saudara sepupu dengan Pandhawa.
Setelah
tiga belas tahun, Pandhawa harus mengambil semua haknya atas dasar keadilan.
Meskipun dirasa berat karena mengingat Korawa adalah saudaranya sendiri satu
Kakek, namun jika tetap dibiarkan, berarti Pandhawa menutup mata akan ketidak
adilan dan ketidak benaran. Maka menurut Krishna, jalan satu – satunya harus
direbut secara kesatria yang berarti perang. Perang suci antara kebaikan
melawan kebatilan di medan Kurusetra yang disebut dengan BARATAYUDHA.
Bab VII
BENTUK WAYANG
Wayang mengalami perjalanan yang amat
panjang ditengah masyarakat bahkan dunia. Sejak jaman Pra – Hindhu, kemudian Jaman
Wali, Jaman Kraton Surakarta – Yogyakarta, hingga pada era modern ini, bentuk
wayang mengalami banyak perubahan yang cukup signifikan mengikuti selera
masyarakat (seni). Bentuk wayang yang mula – mula merupakan penggambaran “nenek
moyang” (benda hidup/mati) yang digunakan sebagai sarana pemujaan roh leluhur
(animisme), lalu berkembang dengan mengambil rupa relief – relief yang ada pada
candi, dan setelah pada jaman Wali wayang dirubah bentuknya menjadi tampak
samping supaya wujudnya tidak lagi menyerupai manusia, hingga puncak penyempurnaan
bentuk yang terjadi pada masa Kraton Surakarta yang disebut dengan “Wayang
Purwa”.
Bentuk
wayang yang sudah populer di masyarakat adalah bentuk dari wayang purwa. Wayang
purwa adalah wayang yang merupakan penggambaran tokoh – tokoh dalam cerita
Ramayana dan Mahabarata. Disebut dengan “wayang purwa” karena, wayang tersebut
merupakan hasil karya yang diciptakan para empu yang tergolong mula –
mula/awal. “purwa” dalam bahasa Jawa yang berarti Awal/pertama. Mengapa dinamakan
demikian, karena hasil karya seniman yang berupa wayang tidak hanya “wayang
purwa” saja, tetapi setelah adanya “wayang purwa”, para empu seniman
menciptakan jenis wayang yang lain seperti “wayang madya” yang mengambil cerita
dadi kisah setelah Mahabarata yaitu keturunan Pandhawa, Raja Parikesit hingga
raja – raja Jawa kuno di jaman sebelum Kerajaan Kediri, seperti halnya kisah
“Prabu Angling Darma”.
Disebut
“wayang madya” karena keberadaan wayang tersebut setelah “wayang purwa” dan
sebelum “wayang gedhog”. Dalam Bahasa Jawa, “madya” berarti tengah. Jadi
menunjukan posisi keberadaanya dalam sejarah. Untuk selanjutnya akan dibahas
tentang “wayang purwa” saja karena dalam bab ini akan membahas secara konkrit
bentuk “wayang purwa” gaya Surakarta. Untuk bentuk jenis – jenis wayang yang
lain mungkin hanya sebagai pengetahuan tambahan saja seperti: Mayang Madya,
Wayang Gedhog, Wayang Purwa gaya Yogyakarta, Wayang Purwa gaya Cirebon, Wayang
Purwa gaya Banyumas, Wayang Purwa gaya Jawa Timuran, Wayang Krucil, Wayang
Klithik, Wayang Kancil, Wayang Wahyu, Wayang Sahadad, Wayang Suluh, Wayang
Beber, dan masih ada beberapa lainnya.
Wayang Purwa Gagrag Surakarta
Wayang
Purwa Gagrag Surakarta adalah Jenis Wayang Purwa khas daerah Surakarta. Kata
“gagrag” berari gaya atau corak yang menjadi ciri khas. Wayang Purwa Gagrag
Surakarta ditengah masyarakat sangat populer dari pada wayang – wayang jenis
dan gagrag yang lain.
Perkembangan
Wayang Purwa Gagrag Surakarta telah merambah keseluruh masyarakat, tidak hanya
masyarakat Jawa saja, tetapi hingga masyarakat Nasional hingga Dunia.
Wayang
Purwa gagrag Surakarta mempunyai bentuk yang proporsional dan “pulasan”/warna,
serta “tatahan”/pahatan yang khas, yang menurut masyarakat kebanyakan dikatakan
indah. Berikut beberapa contoh bentuk spesifik Wayang Purwa Gagrag Surakarta
yang dibandingkan dengan gagrag lain.
NAMA WAYANG
|
GAGRAG SURAKARTA
|
GAGRAG YOGYAKARTA
|
GAGRAG JAWA TIMURAN
|
Raden
Bima Sena, Werku –dara, Bratasena
|
|||
Prabu
Kresna, Narayana, Gowinda
|
|||
Raden
Gathut –kaca, Purbaya, Kaca -negara
|
|||
Prabu
Baladewa
Bala
Rama, Kakra - sana
|
|||
Bathra
Guru, Utipati, Jagad Nata
|
|||
Bathara
Bayu, Maruta
|
Setelah
mengetahui perbedaan antara tiga “gagrag” antara Surakarta, Yogyakarta, dan
Jawa Timuran, berikut bagian – bagian tubuh gambar wayang gagrag Surakarta.
Muka Wayang
Mata
Hidung
Mulut
Mahkota / “irah – iranhan”
Badan “awak – awakan” Kaki “sor
– soran”
Istilah dalam bagian – bagian wayang
Bab VIII
PERTUNJUKAN WAYANG KULIT
Wayang Kulit pada tahun 2004 telah
mendapatkan penghargaan besar dari dunia, yaitu dinobatkannya Wayang Kulit sebagai
“Karya Agung Warisan Dunia” yang “Adi Luhung” oleh Unesco (Lembaga Pendidikan
dan Kebudayaan) PBB (Perserikatan Bangsa – bangsa) di Paris – Perancis, yang
waktu itu diwakili oleh Ki. H. Manteb Soedarsono (Empu Paripurna Pedalangan)
dari Surakarta.
Penghargaan
itu menunjukan bahwa bagaimana keberadaan wayang kulit sangat menjadi perhatian
dunia. Wayang kulit dipandang sebagai karya yang luarbiasa, yang keberadaannya sangat
berpengaruh terhadap kehidupan manusia.
Wayang
kulit hingga didalam pertunjukannya, memual segala aspek yang meliputi banyak
karya seni yang kompleks hingga nilai – nilai “spiritual” dan filosofi
kehidupan. Wayang kulit memuat berbagai karya seni didalamnya yaitu, seni rupa,
dan seni pahat. Sedangkan didalam pertunjukannya, wayang kulit mencakup
berbagai kekayaan seni yaitu meliputi, seni rupa, seni pahat, seni warna, seni teater, seni suara, seni musik, seni
tari, seni sastra, dan juga memuat nilai – nilai tinggi dalam kehidupan
manusia.
-
Aspek
seni rupa : Wayang Kulit digambar diatas kulit kerbau atau sapi dengan pola
pola tertentu yang menjadi ciri khas tokoh tertentu.
-
Aspek
seni pahat : Wayang kulit yang telah berupa sketsa, kemudian dipahat sesuai
dengan bentuk ornamennya.
-
Aspek
seni warna “pulasan” : Wayang Kulit yang telah selesai dipahat, barulah
diwarnai menurut karakter tokoh.
-
Aspek
seni teater : Setiap tokoh wayang mempunyai karakter masing – masing. Dalam
pertunjukan, seorang dalang berperan menyajikan setiap tokoh.
-
Aspek
seni suara : Dalam pementasan wayang kulit, terdapat olah vokal yang dilakukan
oleh dalang maupun oleh swarawati (sinden) dan wiraswara (gerong)
-
Aspek
seni musik : Pementasan wayang kulit dalam penyajiannya diiringi oleh seni
Karawitan yang menggunakan alat musik gamelan.
-
Aspek
seni tari : Wayang kulit disajikan dengan cara digerakkan menurut irama dan
tempo yang diiringi oleh musik karawitan.
-
Aspek
seni sastra : Pertunjukan wayang kulit, dalam penyajiannya menggunakan bahasa
sastra Jawa sebagai bahasa tiap tokoh, dan tembang pada karawitan yang kesemuannya
itu merupakan bahasa – bahasa sastra dalam bahasa Jawa.
Pementasan
Wayang kulit menjadi sangat “unik”/”istimewa” karena dalam penyajiannya
dilakukan dalam waktu yang relatif lama. Pertunjukan wayang kulit dimulai pukul
21.00 – o7.00 wib (dulu), sekarang pertunjukannya dilakukan pada pukul 21.00 –
04.00 wib.
Pertunjukan
Wayang kulit “tradisi” dalam satu sajian dibagi menjadi tiga bagian yang
berurutan berdasarkan “pathet” dalam karawitan yaitu, bagian pathet nem, pathet
sanga, dan pathet manyura.
Pathet Nem
Dalam
pathet nem, pertunjukan wayang kulit berisi beberapa adegan yaitu :
1. Adegan Jejeran : berisi adegan babak
unjal, dan jengkaran.
2. Adegan gapuran
3. Adegan Kedhatonan
4. Adegan Paseban Jaba
5. Adegan Budhalan
6. Adegan Perang Ampyak
7. Adegan Jejer Pindho
8. Adegan Budhalan Sabrang
9. Adegan Perang Gagal
10. Adegan Magag
Pathet Sanga
1. Adegan Pertapan (jejer pertapan)
2. Adegan Mudhun Gunung
3. Adegan Alas – alasan
4. Adegan Prepatan
5. Adegan Perang Kembang
6. Adegan Sintren
Pathet Manyura
1. Adegan jejer
2. Adegan Werkudara mlumpat
3. Adegan jejer pindho
4. Adegan Perang Brubuh
5. Adegan Tancep Kayon
Satu
kesatuan pertunjukan wayang kulit, terdapat dua unsur pendukungnya yaitu :
unsur fisik dan non fisik.
-
Unsur
fisik yaitu unsur dalam sajian wayang kulit yang berwujud. Unsur tersebut
meliputi :
1.
Wayang
kulit
2.
Kelir
3.
Gawangan
4.
Blencong
5.
Debog
6.
Tapak
dara
7.
Kothak
8.
Keprak
9.
Cempala
10.
Gamelan
11.
Dalang
12.
Sindhen
13.
Gerong
14.
Pengrawit
-
Unsur
non fisik meliputi :
1.
Cerita
/ lakon
2.
Naskah
3.
Suluk
4.
Tembang
5. Gendhing
Dalam hidup masyarakat Jawa,
pertunjukan wayang dipandang sebagai suatu seremoni yang hubunganya dengan
spiritual kerohanian. Pada waktu jaman Kraton, pagelaran wayang kulit hanya
boleh dinikmati oleh raja dan keluarganya saja. Wayang merupakan suatu sarana
hiburan bagi raja serta sebagai cermin dalam mengintropeksi diri dalam
menjalankan tugas sebagai manusia yang utuh serta dalam kepemimpinanya dengan
memperoleh banyak petuah – petuah yang disampaikan oleh seorang dalang.
Setelah wayang berhasil “menembus
dinding kraton”, wayang dapat dinikmati oleh masyarakat, yang pada waktu itu
pun hanya kalangan tertentu yang dapat menikmati pagelaran wayang kulit.
Kalangan – kalangan tertentu itu adalah keluarga – keluarga ningrat atau kaum
priayi yang mengadakan pagelaran wayang kulit didalam rumah joglo pada bagian
ruang peringgitan.
Telah dapat kita lihat bagaimana
berharganya posisi wayang kulit didalam masyarakat, sehingga tidak sembarang
orang yang dapat melihat pertunjukannya. Begitu pula dengan aktor utamanya
yaitu sosok Dalang, yang begitu di percaya dalam menyampaikan segala “kebaikan”
kepada raja atau keluarga ningrat sebagai sarana hiburan dan konsumsi spirilual
jiwanya.
Seiring berubahnya jaman, akhirnya
wayang dapat dinikmati oleh segenap masyarakat tanpa membedakan latar belakang
statusnya. Dengan demikian, secara tidak disadari, peran masyarakat luas
menjadi faktor penting akan kelestarian wayang kulit. Dalam kehidupan
masyarakat sekarang, wayang kulit menjadi sarana banyak aspek yang sifatnya
umum sebagai hiburan semata maupun adat. Pada aspek umum wayang kulit dipagelarkan
biasanya dalam rangka pesta rakyat, politik dalam propagandanya, hari jadi
instansi, dll. Sedangkan dalam aspek adat, pagelaran wayang kulit menjadi media
sakral dalam upacara tertentu seperti, selamatan desa, sedekah bumi, ruwatan, dan
sebagainya. Masyarakat menganggap, belum sempurna segala sesuatu acara tertentu
jika belum diadakan pagelaran wayang kulit.
Pada sisi spiritual, wayang
dipercayai sebagai media yang sakral dalam menghubungkan antara lahiriah dengan
batiniah. Dengan sarana wayang kulit, diyakini dapat menghantar doa – doa
manusia untuk disampaikan kepada Tuhan. Lakon wayang, diharapkan serta diyakini
akan menjadi nyata dalam kehidupan manusia. Sebagai contoh, untuk acara
pernikahan, akan dipergelarkan wayang kulit dengan mengambil lakon “Wahyu Katentreman”
atau “lakon Rabine Janaka” yang inti sari dari cerita lakon tersebut mengandung
unsur kebaikan dalam berumah tangga. Jika dalam acara khitan atau ulang tahun
seseorang, lakon yang diambil adalah “Lakon Laire Gathotkaca” atau “Laire
Wisanggeni” yang diharapkan adalah, agar kelak anak yang bersangkutan menjadi
anak yang baik seperti Raden Gathutkaca atau akan cerdas seperti Raden
Wisanggeni. Lain lagi pada acara adat, biasanya lakon yang diambil adalah lakon
– lakon berat yang mengandung sisi spriritual lebih dalam seperti “Lakon
Baratayuda”, “Murwakala”, “Dewa Ruci” dll. Wayang dipercayai sebagai
penyeimbang antara alam “mikro” (manusia) dengan “makro” (alam semesta).
Pertunjukan wayang kulit telah
menjadi salah satu bagian hidup ditengah masyarakat yang tidak dapat
ditinggalkan. Meskipun jaman silih berganti namun karena kekuatan wayang yang
telah merasuk dalam relung jiwa manusia, dalam bentuk nilai – nilai dan pada
unsur yang lain, telah mengambil perhatian pada sikap seseorang. Adat istiadat
dan budaya menjadi salah satu tiyang penyangga yang sangat penting dalam
kelestarian wayang kulit. Dengan tetap adanya wayang dan pertunjukannya, kita
dapat mengambil kesimpulan bahwa masyarakat tidak meninggalkan akar budaya dan
nilai – nilai yang ada.